Pages

Rabu, 04 Desember 2013

Permainan Tradisional Rakyat Bugis

Dapat dikatakan bahwa hampir semua permainan rakyat tradisional Bugis dilakukan setelah panen. Hal tersebut dikarenakan oleh waktu panen yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan untuk mengisi waktu lowong yang cukup panjang maka lahirlah berbagai macam permainan rakyat.

1. Marraga
Marraga/Mandaga adalah bahasa Bugis yang didalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama bermain atau bersepak raga. Penamaan ini berasal dari jenis peralatan permainan yang digunakan yaitu raga. Adapun istilah raga bersumber dari makna dan fungsi permainan, yaitu siraga-raga artinya saling menghibur. Pada zaman dahulu, seorang pemuda belum bias menikah jikalau belum mahir bermain raga. Seorang ahli permainan raga merupakan kebanggaan dan dikagumi masyarakat yang berarti turut meningkatkan status sosial seseorang.
Raga yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam, umumnya berukuran dengan diameter sekitar 15 cm.
Asal usul permainan raga sehingga dikenal di daerah Sulawesi Selatan, diperkirakan berasal dari Malaka atau pulau Nias. Sehubungan dengan ini, W. Kaudren (Games and Dances In Celebes, 1927), secara tegas meragukan bahwa berasal dari Malaka, dengan alas an masyarakat tradisional yang ada di Malaka tidak mengenal permainan ini. Dia lebih cenderung pada pendapat bahwa permainan ini berasal dari daerah pantai barat Sumatera yaitu pulau Nias, karena daerah tersebut umumnya penduduk mengenal permainan ini. Pada mulanya permainan raga hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan Bugis saja, namun didalam perkembangannya selanjutnya dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Ada dua hal yang merupakan unsure pokok permainan raga yaitu Sempek atau sepak dan belo yakni variasi.

2. Maggassing
Penamaan permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu Gasing. Asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, namun dugaan yang paling kuat berasal dari Sumatera, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kauderen dan Matthes dalam bukunya “Tot Bijdragen De Ethnologie Van Zuid Celebes”. Bahwa kemungkinan permainan ini berasal dari Sumatera, kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam melalui hubungan dagang. Khususnya di Sulawesi Selatan kemungkinan ini dapat diterima karena sejak lama telah terjadi kontak dengan orang-orang Melayu, khususnya Sumatera.

3. Maccuke
Berasal dari bahasa Bugis yaitu Cukke yang artinya ungkit, yang dengan demikian Maccukke berarti bermain ungkit. Permainan cukke termasuk permainan musiman yang umumnya dilakukan sedudah panen sampai pada waktu menjelang turun ke sawah dan dilakukan pada siang hari.

4. Maggaleceng
Permainan dilakukan malam sampai pagi hari sebagai acara rangkaian perkabungan, dimana penyelenggaraannya berlangsung sampai pada upacara pemasangan batu bata dan nisan kuburan orang yang meninggal yang didaerah Bugis disebut dengan Matampung. Maggaleceng biasanya berlangsung selama tujuh malam , 40 malam ataukah 100 malam jika yang berkabung adalah keluarga raja. Dengan melihat suasana permainannya menunjukkan bahwa permainan ini juga berfungsi untuk menghibur keluarga yang berkabung dan selama berjaga-jaga supaya tidak mengantuk. Pada zaman dahulu, oleh masyarakat tradisional Bugis, permainan ini termasuk jenis permainan sakral, berhubungan dengan nuansa magis.

5. Massaung Manuk
Berasal dari kata saung yang berarti sabung dan manuk yang berarti ayam. Dilakukan untuk memeriahkan pesta-pesta adat misalnya perkawinan, pelantikan raja-raja, pesta panen dan sewaktu mengeringkan padi di lapangan. Pada waktu silam, permainan ini merupakan kegemaran kaun bangsawan pada umumnya dan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Dikalangan raja-raja terkadang mengadakan pertandingan antar kerajaan, yaitu dengan mengundang raja-raja disekitarnya. Sehubungan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, maka yang disabung bukanlah ayam sembarangan. Tetapi yang telah dimantra atau jampi-jampi dan dirawat dengan cermat. Usia permainan ini sudah sangat tua dan dijumpai hamper diseluruh nusantara. Menurut cerita rakyat Bugis, bahwa dahulu kala yang disabung adalah manusia, yang diselenggarakan oleh kalangan raja-raja/bangsawan sebagai hiburan sekaligus untuk mendapatkan Tobarani (pemberani). Tetapi dikemudian hari karena dianggap terlalu kejam dan merendahkan martabat manusia, maka diganti dengan ayam. Masyarakat tradisional Bugis berkeyakinan bahwa dengan senantiasa melihat pertandingan dan darah, maka akan menambah keberanian dan kesaktian.

6. Maggale
Merupakan sejenis permainan yang menggunakan Kaddaro atau tempurung kelapa. Pada zaman dahulu, permainan ini umumnya dilakukan sesudah panen dan juga pengisi waktu senggang di kala pagi hari atau sore hari. Permainan ini tidak didasarkan pada latar belakang stratifikasi sosial dan karenanya sangat merakyat dalam masyarakat tradisional.

7. Mallogo
Penamaannya bersumber dari peralatan utama bermain yaitu Logo (berbentuk cangkul). Bentuknya yang seperti cangkul mencerminkan nilai budaya Bugis yang bersandar pada kehidupan agraris. Biasanya dilakukan sesudah panen dan juga pada waktu senggang lainnya. Logo terbuat dari tempurung kelapa yang berkualitas baik dan berbentuk segitiga yang ujung-ujungnya ditumpulkan.

8. Massalo
Pada mulanya dimainkan pada malam hari kala bulan purnama setelah panen usai dan selanjutnya dilakukan pada waktu senggang lainnya. Permainan ini merupakan permainan rakyat pada umumnya untuk anak-anak belasan tahun dan kadang-kadang juga dilakukan oleh para remaja.

9. Mabbangngak
Merupakan permainan musiman yaitu setelah panen kemiri, namun selama masa pati ngelle yaitu sesudah padi dituai sampai turun sawah berikutnya. Juga senantiasa diadakan karena umumnya anak-anak/remaja yang hobi memiliki persiapan kemiri, khususnya bagi anak-anak gembala dijadikan pengisi waktu senggang. Permainan ini merupakan permainan dari golongan masyarakat biasa atau rakyat kecil, dimana kehadiran dan perkembangan permainan ini ditunjang oleh keadaan alam masyarakat Bugis, terutama mereka yang hidup dan bermukim di daerah-daerah pertanian/perkebunan. Perlengkapan permainan terdiri atas buah kemiri, yang dalam bahasa Bugis disebut Pelleng.

10. Mallongngak
Berasal dari kata longak yaitu nama mahluk halus sejenis jin yang bentuk badanya sangat tinggi, dimana kata longak diartikan juga dengan tinggi atau jangkung. Sehubungan dengan penamaannya ini, DR. B. F. Matthes didalam bukunya “Bijdragen Tot De Ethnologie Van Zuid Celebes”, mengemukakan bahwa kemungkinan Mallongnga berasal dari nama seorang raksasa. Merupakan permainan yang digemari rakyat pada umumnya karena cukup menarik, dengan melihat bentuk dan cara bermain, termasuk jenis permainan olahraga. Sehubungan dengan fungsi Mallongnga, DR. B. F. Matthes, berdasarkan hasil penelitiannya, mengemukakan bahwa kemungkinan dahulu permainan ini merupakan salah satu bentuk pertunjukan upacara. Didalam kehidupan masyarakat tradisional Bugis dimasa silam, penyelenggaraan permainan ini berkaitan dengan problema magis yang tentunya tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mistik religius. Antara lain dapat dilihat dalam fungsi permainan yang dianggap sebagai penangkal penyakit. Apabila disuatu kampung terdapat penyakit yang merajalela, maka tujuh orang pria dari kampung tersebut dengan berpakaian putih semacam talqun, Malongak mengitari kampung selama tujuh kali dengan maksud mengusir roh jahat yang menyebabkan wabah tersebut. Dengan cara ini mereka yakin bahwa Longngak yaitu mahluk halus yang dianggapnya baik itu akan turut membantu mereka. Didalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah ajaran-ajaran Islam tersebar luas dalam masyarakat Bugis, maka fungsi religius ini tidak berfungsi lagi, melainkan dilakukan hanya sekedar bermain di kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, sebab selain di daerah Bugis, juga dijumpai dibeberapa daerah lainnya seperti Minahasa dan Mongondou di Sulawesi Utara yang disebut Mogilangkadan. Orang Mori di Palu dan Poso menyebutnya Motilako, di pulau Jawa dikenal dengan nama Jangkungan dan juga terdapat di pulau Buton Sulawesi Tenggara dan di Sumatera. DR. B. F. Matthes mengemukakan bahwa Mallongnga dijumpai pula di Filipina, Malaysia dan Jepang. Berdasarkan penyebarannya ini, Matthes memperkirakan bahwa Mallongnga di Sulawesi Selatan kemungkinan dari Filipina melalui Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Selanjutnya Mathhes mengatakan kemungkinan Mallongnga di Indonesia lebih tua dari kebudayaan Hindu karena ditemukan di banyak tempat yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Misalnya dikalangan orang-orang Polynesia, Mallongnga merupakan salah satu kebudayaan penting yang ada sejak dahulu. Perlengkapan permainan terdiri atas dua batang bambu yang kuat dan panjangnya lebih dua kali tinggi badan yaitu sekitar 3 meter. Mengenai panjang bambu tergantung pada tingkat perkembangan usia dan keberanian seorang pemain.

11. Majjeka
Berasal dari kata Jeka yang artinya jalan. Merupakan permainan masyarakat pada umumnya oleh karena bahan utamanya mudah diperoleh. Perlengkapan permainan terdiri atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan tiap belahan ujungnya dibei lubang. Juga terdapat dua utas tali yang ujungnya/panjangnya kurang lebih 1,5 meter.

12. Mappasajang
Berasal dari kata Sajang yang artinya melayang. Sedangkan orang Bugis yang berdiam di Sidenreng Rappang menamainya Malambaru, berasal dari kata Lambaru, yakni ikan pari. Penamaan ini berdasarkan kepada bentuk peralatan pokok dari permainan ini, yaitu menyerupai ikan pari. Dan saat ini lebih populer dengan nama permainan laying-layang. Bentuk dan ragam hias layang-layang berbagai macam, tetapi masyarakat Bugis tradisional umumnya menggunakan bentuk dan corak binatang. Menurut sejarahnya bahan yang digunakan pada mulanya adalah jenis dedaunan yang lebar dan telah kering kemudian diberikan tali. Setelah penggunaan kertas dikenal, mulailah dijadikan sebagai bahan utama pembuatan layang-layang.
13. Maggeccik
Berasal dari kata geccik yang artinya menyentik. Merupakan permainan tradisional yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa. Peralatan permainan adalah biji-bijian, umumnya yang digunakan adalh biji asam.

14. Mappolo Beceng/Mallappo Pinceng
Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Didalam penyelenggaraan permainan, tidak dilakukan pembauran antara pria dan wanita. Dengan kata lain, yang pria bermain dengan sesamanya dan wanita juga bermain dengan sesamanya.

15. Massantok
Di daerah Bugis, permainan ini populer dengan nama Massantok, kecuali orang Bugis yang berdiam di Soppeng menyebutnya Maggalantok. Termasuk jenis permainan yang dapat dilakukan oleh semua golongan masyarakat. Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan kegemaran suku Bugis menunggang kuda. Peralatan permainan terdiri atas sebuah batu besar yang akan dijadikan sebagai sasaran lontaran permainan dan sebuah batu agak kecil dan pipih sebesar genggaman tangan untuk masing-masing pemain sebagai alat pelempar.

16. Rengngeng
Dewasa ini, rengngeng lebih populer dengan nama perburuan rusa. Masyarakat tradisional Bugis melakukan secara kolektif sesudah panen atau pada waktu jagug sudah hampir berbuah. Pada masa silam, merupakan permainan kegemaran kaum bangsawan, dimana Rusa adalah salah satu binatang liar yang digemari karena dagingnya enak. sebagai suatu kegemaran pada mulanya timbul dan dilakukan oleh kaum bangsawan sebagai suatu hiburan kreatif sekaligus melatih ketangkasan personal untuk menghdapi kemungkinan perang. Perburuan Rusa juga digunakan pula untuk mencari bibit-bibit Tobarani yang tangguh dan gesit.

17. Mattojang
Mattojang adalah penamaan permainan di daerah Bugis, berasal dari kata tojang. Dalam bahasa Bugis lainnya disebut Mappare, berasal dari kata pere. Kata Tojang dan pere mempunyai arti yang sama, yaitu ayunan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan permainan ini adalah permainan ayunan atau berayun. Pada umumnya Mattojang diselenggarakan dalam rangka memeriahkan pesta-pesta tertentu, yaitu pesta panen, pernikahan dan kelahiran seorang bayi. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini diselenggarakan oleh kalangan bangsawan/raja-raja atau penguasa adat. Kehadiran permainan ini tidak bias dilepaskan dari kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Menurut mitos yang melatarbelakangi penyelenggaraan permainan bahwa dimaksudkan untuk mengingatkan kembali prosesi diturunkannya manusia yang pertama yaitu Batara Guru dari Boting Langiq atau kayangan ke bumi. Beliau diturunkan ke bumi dengan tojang pulaweng atau ayunan emas. Batara Guru inilah yang dianggap sebagai nenek moyang manusia dan merupakan nenek dari Sawerigading, tokoh legendaris yang terkenal dalam mitos rakyat Bugis. Kemudian berkembang dalam bentuk permainan sebagai tanda syukur atas berhasilnya panen. Menurut Kauderen bahwa permainan ayunan kemungkinan berasal dari Jawa yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan pengaruh Hindu. Hal ini didasarkan pada persamaan waktu penyelenggaraannya serta cara pelaksanaannya, baik di Jawa maupun di India. Adapun perlengkapan Mattojang kuno terdiri atas dua batang kelapa atau bambu betung dengan tinggi kurang lebih 10 meter untuk tiang ayunan. Tali yang terbuat ari kulit kerbau yang dililit dan panjangnya sedikit lebih pendek dari tiang ayunan. Tudangeng merupakan tempat duduk yang terbuat dari kayu. Peppa yaitu alat penarik ayunan yang terbuat dari rotan atau tali sabut yang panjangnya 3-4 meter, dimana salah satu ujung peppa dikaitkan pada bagian bawah larik. Mattojang dilakukan oleh minimal 3 orang. Seorang berayun dan dua orang yang menarik dan mengayun-ayunkan kemuka dan ke belakang silih berganti. Pengayunan ini disebut Padere.

18. Mappadendang
Berasal dari kata dendang yang berarti irama atau alunan bunyi. Pada masa silam, mappadendang dilakukan di malam hari sewaktu bulan purnama. Selain itu diselenggarakan dalam kaitannya dengan upacara tertentu yakni pernikahan dan panen yang berhasil. Mappadendang hanya dilakukan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda dari kalangan masyarakat biasa. Pada dasarnya permainan ini berasal dari bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi. Irama ini kemudian dikembangkan mnjadi mappadendang dengan menambah bobot irama tumbukan alu ke lesung. Pada fase berikutnya, permainan ini lebih dikembangkan lagi, dimana alunan irama lebih teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan diiringi dengan tarian.

19. Makkurung Manu
Berasal dari kata kurungeng yang artinya kurungan dan manuk yang berarti ayam. Jadi yang dimaksudkan adalah permainan mengurung ayam. Penamaan permainan ini lebih bersifat simbolis. Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Pada mulanya hanya merupakan permainan sembunyi-sembunyian. Akan tetapi karena kepercayaan masyarakat dulu bahwa banyak anak-anak yang hilang disembunyikan oleh mahluk halus yang bernama nasobbu talimpau. Maka pada umumnya anak-anak dilarang bermain sembunyi-sembunyian di malam hari. Kemudian muncullah permainan Makkurung Manuk yang dianggap lebih praktis dan berguna.

20. Maggunreco
Maggunreco adalah penamaan permainan ini didaerah Bugis umumnya. Di daerah Bugis Sidenreng Rappang lebih dikenal dengan nama Majepe atau Attele. Permainan ini dilakukan sewaktu suatu keluarga berkabung, yaitu pada malam pertama jenazah dimakamkan sampai pada waktu-waktu tertentu, seperti malam ketujuh, keempat puluh dan keseratus. Lamanya penyelenggaraan permainan bergantung kepada derajat kebangsawanan dan kemampuan materil seseorang. Pada masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya diselenggarakan apabila yang berkabung adalah golongan bangsawan. Adapun yang bermain dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa pembatasan status sosial seseorang. Puncak acara ini ialah pada malam hari malam keempat puluh. Menjelang esok harinya diselenggarakan upacara Mattampung yaitu penyusunan batu bata dan nisan permanen. Penyelenggaraannya berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat Bugis tradisional, bahwa orang yang mati sebelum cukup empat puluh hari empat puluh malam, masih berada disekitar rumah dan keluarganya. Sesudah itu barulah san roh pergi ke tempatnya yang abadi. Dengan demikian, puncak acara yang diselenggarakan pada malam keempat puluh tersebut merupakan perpisahan agar perjalanan rohnya selamat. Pada mulanya permainan ini bersifat religius, pantang dilakukan pada hari-hari lain karena mengundang kematian. Namun dengan masuknya Islam, permainan ini kemudian dilakukan disembarang waktu.

21. Massempek
Berasal dari kata sempek yang berarti sepak. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah permainan saling menyepak atau berlaga dengan menggunakan kaki. Diselenggarakan pada pesta atau upacara adat, misalnya panen, pernikahan, pelantikan raja dan kadang-kadang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Pada mulanya penyelenggaraan permainan ini hanya sekedar keisengan dari kalangan bangsawan untuk menghibur diri dengan jalan mengadu hamba sahayanya. Dikemudian hari berkembang menjadi permainan yang digemari oleh masyarakat umum.

22. Mallanca
Berasal dari kata lanca, yaitu menyepak dengan menggunakan tulang kering, yang sasarannya ialah ganca-ganca, yakni bagian kaki diatas tumit. Permainan ini termasuk yang digemari oleh masyarakat Bugis tradisional dalam rangkaian penyelenggaraan pesta-pesta adat dan hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Sebagaimana halnya dengan Massempek, maka Mallanca ini pada mulanya hanya sekedar hiburan kalangan bangsawan yang kemudian turut digemari oleh masyarakat luas.

23. Mammencak
Berasal dari kata mencak yang artinya pencak atau silat. Jadi yang dimaksud adalah permainan pencak silat. Dilakukan pada pesta-pesta/keramaian adat yang diselenggarakan oleh suatu keluarga serta upacara adat lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat. Asal permainan ini diperkirakan dari Semenanjung Malayu melalui Sumatera, dengan perantaraan dari orang-orang Melayu yang dating ke Sulawesi Selatan dimasa silam. Hal ini didasarkan pada penamaannya yang juga disebut dengan Silak Melayu atau Silat Melayu.

24. Maccubbu
Berasal dari kata cubbu yang berarti sembunyi, atau dengan kata lain Maccubbu berarti bermain sembunyi-sembunyian. Termasuk kedalam permainan ini adalah Mallojo-lojo, Enggo, Mappajolekka dan Mallonci. Pada zaman dahulu, dimainkan pada bulan purnama, dimana ketika itu anak-anak keluar rumah bermain bersuka cita. Merupakan permainan rakyat yang sangat disukai oleh kalangan anak-anak.

sumber : http://www.rappang.com/2009/12/permainan-rakyat-bugis.html

Senin, 02 Desember 2013

Renungan Untuk Kita Semua

menikah-atau-belum
Ketika aku tiba di rumah malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku memegang tangannya dan berkata, “Aku ingin membicarakan sesuatu.” Dia duduk dan makan dengan tenang. Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya, namun aku tidak tahu itu apa.
Aku ingin bicara, tapi aku merasa bingung harus mulai dari mana. Akhirnya aku berkata, “Aku ingin bercerai.” Dia tampaknya tidak terganggu oleh kata-kataku, bahkan dia hanya bertanya dengan lembut. “Mengapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini ternyata membuatnya marah. Dia membuang sumpit dan berteriak padaku, “kau bukan laki-laki!”
Malam itu , kami tidak berbicara satu sama lain. Dia menangis. Aku tahu dia ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Aku memiliki Jane sekarang. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan yang amat bersalah, aku menuliskan surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil kami, dan 30 % saham dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan merobek-robeknya!
Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya denganku telah menjadi orang asing. Aku merasa kasihan padanya karena waktu dan energinya sudah terbuang…
Tapi aku tidak bisa menjilat ludahku sendiri karena aku mencintai Jane. Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, yang sebenarnya sudah menjadi harapanku.
Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan….
Ide perceraian yang telah membuatku terobsesi selama beberapa minggu terakhir tampaknya lebih jelas sekarang.
Keesokan harinya, aku kembali ke rumah larut malam, dan menemukan dia menulis sesuatu di meja . Aku tidak makan malam tapi langsung tidur dan tertidur sangat cepat karena aku lelah setelah seharian bersama Jane. Ketika aku bangun, dia masih di posisinya semula. Aku tidak peduli dan tertidur lagi.
Di pagi hari dia memberitahu sesuatu yang cukup janggal, sebagai permintaannya sebelum kita bercerai. Dia meminta agar dalam satu bulan sebelum bercerai, kami berdua harus berhubungan seperti biasa. Alasannya sederhana: anak kami akan menghadapi ujian di sekolahnya dalam waktu satu bulan dan dia tidak ingin mengganggunya dengan kabar buruk.
Tapi dia memiliki permintaan lain lagi. Dia memintaku untuk menggendongnya setiap pagi, seperti saat aku membawanya ke kamar pengantin pada hari pernikahan kami….
Dia meminta agar setiap hari selama sebulan aku bisa menggendong dia keluar dari kamar tidur ke pintu depan. Aku pikir dia sudah gila . Namun, karena ini merupakan hari-hari terakhir kami bersama-sama, aku menerima permintaannya yang aneh itu.
Aku bilang Jane tentang kondisi ini. Ia tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Tidak peduli apa trik yang ia lakukan, ia harus menghadapi perceraian ini,” ia mencemooh.
Aku dan istriku tidak pernah kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian itu secara eksplisit. Jadi ketika aku menggendongnya keluar pada hari pertama, kami berdua tampak canggung.
Anak kami menepuk punggung kami, “Ayah membopong ibu,” kata-katanya melahirkan rasa sakit di hatiku.
Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan lebih dari sepuluh meter dengan ia dalam gendongan tanganku. Dia menutup matanya dan berkata lembut, “jangan memberitahu anak kita tentang perceraian”.
Aku mengangguk, merasa agak kesal. Aku menurunkannya di luar pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku pergi sendirian ke kantor.
Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebahkan diri di dadaku. Aku bisa mencium wangi di bajunya. Aku menyadari bahwa sudah lama aku tidak pernah begitu memperhatikannya….
Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi. Ada kerutan halus di wajahnya. Rambutnya mulai beruban…
Pernikahan kami telah membuatnya jadi korban. Untuk sesaat aku bertanya-tanya apa yang telah kulakukan padanya.
Pada hari keempat, ketika aku mengangkatnya, aku merasakan keintiman itu kembali. Ini adalah wanita yang telah memberi sepuluh tahun hidupnya untukku. Pada hari kelima dan keenam, aku menyadari bahwa keintiman kami mulai tumbuh lagi. Aku tidak memberitahu Jane tentang hal ini.
Setelah hampir sebulan, menjadi lebih mudah untuk menggendongnya. Mungkin latihan sehari-hari membuat aku lebih kuat.
Dia memilih apa yang akan dikenakan pada suatu pagi. Lalu ia menghela napas, “semua gaunku telah membesar.”
Aku tiba-tiba menyadari bahwa tubuhnya begitu kurus. Itulah alasan mengapa aku bisa membopongnya dengan ringan.
Sontak aku tersadar, dia telah mengubur begitu banyak rasa sakit dan kepahitan di dalam hatinya. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan menyentuh kepalanya.
Anak kami masuk pada saat itu dan berkata, “Dad, saatnya untuk membawa ibu keluar.” Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian penting dari hidupnya. Istriku menunjuk ke anak kami untuk mendekat dan memeluknya erat-erat.
Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada menit terakhir ini. Aku kemudian membopongnya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras.
Tangannya merangkul leherku dengan lembut dan alami. Aku menyangga badannya dengan kuat. Persis seperti hari dimana kami menikah.
Tapi berat badannya yang semakin ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku memeluknya dalam pelukanku, aku hampir tidak bisa bergerak selangkahpun. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, “aku tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra.”
Aku pergi ke kantor. Melompat keluar dari mobil tanpa sempat mengunci pintu. Aku takut aku akan berubah pikiran.
Aku menemui Jane, dan berkata, “maaf, Jane. Aku tidak ingin bercerai lagi. Dia menatapku heran, dan kemudian menyentuh dahiku. “Kau kenapa?” tanyanya.
Aku lepaskan tangannya dari dahiku. “Aku tidak ingin bercerai,” kataku. Aku lalu bercerita kalau kehidupan rumah tanggaku berantakan bukan karena kami tidak saling mencintai lagi, tapi karena kami kurang menghargai detail-detail dalam kehidupan kami…
Sekarang aku menyadari bahwa sejak aku membawanya ke rumah pada hari pernikahan kami, aku seharusnya memeluknya sampai kematian memisahkan kita.
Jane terlihat kaget. Dia menamparku dengan keras dan membanting pintu. Ia menangis. Aku menuruni tangga dan pergi.
Di toko bunga di jalan, aku membeli karangan bunga untuk istriku. Pramuniaga bertanya kata-kata apa yang ingin kutulis dalam kartu. Aku tersenyum dan menulis, “aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian memisahkan kita.”
Malam itu aku tiba di rumah, bunga di tanganku, senyum di wajahku. Aku berlari naik tangga hanya untuk menemukan istriku di tempat tidur. Dia meninggal.
Istriku telah berjuang selama berbulan-bulan melawan kanker tapi aku begitu sibuk dengan Jane. Dia tahu bahwa dia akan segera meninggal dan ia ingin agar anakku tidak menyalahkanku karena aku ingin bercerai. Setidaknya, di mata anak kami, aku suami dan ayah yang penuh kasih…


sumber : http://www.rodazaman.info/kisah-inspiratif/menikah-atau-belum-kalian-harus-baca-yang-ini/

Rabu, 27 November 2013

Destinasi Wisata Sulawesi Selatan Part II

kalo mau kopi paste silhkan cantumkan sumber. jadi ki bloger yang beretika


oke oke..... sekarang tulisan ku sendiri....
sedikit saya bagi info. khususx yang hobi wisata. ini tempat wisata yang ada di sulawesi selatan. tanahx orang bugis.... "wajib dikunjungi"

Ini lanjutan dari postingan Destinasi Wisata Sulawesi Selatan Part I

11. Buntu Matabing
 
Merupakan tempat wisata yang terletak di "Belopa". Dengan perpaduan panorama alam pegunungan dan pantai. Terdapat batu dengan bentuk menyerupai manusia, yang menurut legenda masyarakat setempat merupakan seorang penebang kayu yang dikutuk menjadi batu karena menebang pohon beringin keramat
12. Mesjid Jami
Adalah mesjid tertua di sulawesi selatan dan merupakan bukti bahwa kerajaan luwu merupakan daerah pertama masuknya agama islam di sulawesi selatan sekitar abad XV atau XVI

13. Kete Kesu
 
Merupakan kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang terdiri dari tongkonan, lengkap dengan alang sura' (lumbung padi). Dibelakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan bergantung dan tau-tau dalam ruangan batu yang dipagar
14. Londa
 
Merupakan tempat pekuburan dinding berbatu dan tau-tau. Didalamnya terdapat gua dengan banyak tengkorak kepala manusia

15. Lemo
Tempat pekuburan yang dipahat pada dinding berbatu dan terdapat tau-tau (patung). jumlah lubang batu kuno 75 buah dan tau-tau 40 buah, sebagai lambang pretise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Lemo

16. Buttu Kabobong
 
Disebut "Erotic Mountain" karen bentukx yang menyerupai (maaf) kelamin wanita. Buttu kabobong merupakan perbukitan hasil endapan endapan gunung berapi purba yang telah mengalami erosi kuat sehingga menghaasilkan bentuk yang unik.

17. Sumpang Bita
Merupakan taman purbakala yang terletak didaerah perbukitan  karst, pangkep. Untuk mencapai gua yang didalamnya terdapat gambar telapak tangan, babi rusa dan perahu yan diperkirakan berusia 5000 tahun silam, harus melewati ratusan anak tangga

18. Bandara Sultan Hasanuddin
Bandar Udara International Sultan Hasanuddin merupakan pintu gerbang penerbangan untuk wilayah indonesia timur. keunikan bandara ini yaitub posisi landas pacu yang baru bersilangan dengan landas pacu yang sudah ada

19. Taman Prasejarah Leang-Leang
 
Taman Prasejarah ini terletak pada daerah perbukitan karst yang curam, dan diduga pernah dihuni oleh manusia yang ditandai dengan lukisan babi rusa dan gambar gambar telapak tangan pada dinding gua. Terdapat juga fosil kerang disekitar gua

20. Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Kawasan ini terletak didaerah karst yang ditumbuhi vegetaasi tropis yan subur dan juga menjadi habitat berbagai spesies kupu-kupu burung dan serangga langka. selain air terjun, terdapat pula gua dengan stalagmit dan stalatit yang menakjubkan.

untuk info destinasi wisata sulsel sy akhiri disini dulu, masih banyk sebenarnya tempat wisata yang ada di sulsel, namun karena keterbatasan penulis maka mungkin ini yang bisa disampaikan.
 

 
 
 
 



 

Senin, 25 November 2013

Tukar Link



Destinasi Wisata Sulawesi Selatan part I

kalo mau kopi paste silhkan cantumkan sumber. jadi ki bloger yang beretika


oke oke..... sekarang tulisan ku sendiri....
sedikit saya bagi info. khususx yang hobi wisata. ini tempat wisata yang ada di sulawesi selatan. tanahx orang bugis.... "wajib dikunjungi"

1. Pelabuhan Paotere
merupakan pelabuhan tradisional yang juga bukti peninggalan kerajaan gowa-tallo. pelabuhan paotere hingga saat ini masih dipakai sebagai pelabuhan perahu rakyat seperti phinisi dan lambo, dan juga menjadi pusat niaga nelayan

2. Makam Syech Yusuf
 
Syech Yusuf adalah seoarang pahawan Muslim yang oleh masyarakat Sulawesi Selatan dikenal sebagai "Tuanta Salamaka" dan makamnya dikenal dengan nama "Kobbang"

3. Balla Lompoa
 
Dulunya adalah kediaman para raja gowa. namun sekarang sudah beralih fungsi menjadi sebuah museum.
museum ini berbentuk istana rekonstruksi kerajaan gowa yang dibangun pada tahun 1936 dan telah direstorasi tahun 1978 - 1980. museum ini berisi benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa.

4. Makam Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (1629-1670) Raja Gowa yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk melawan Belanda. Makam ini terletak di kompleks makam raja-raja Gowa

5. Pantai Losari
 
Pantai ini Terletak disebelah barat Kota Makassar. wilayah ini merupakan hasil dari reklamasi pantai

6. DAM Bili-Bili
DAM Bili-bili yang dibangun pada wilayah DAS jeneberang ini mulai beroperasi sejak tahun 2000. DAM ini semula diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendai banjir, persediaan sumber air minum, pengairan dan PLTA dalam skala kecil.

7. Kelelawar Soppeng
Sejak dulu Kelelawar telah menghuni Kabupaten Watang Soppeng. dan uniknya mereka hanya mau bergelantungan pada pepohonan yang berada dijantung kota. menjelang malam kelelawar ini akan keluar mencari makan didaerah pegunungan dan akan kembali menjelang subuh.

8. Malino
 
Merupakan Daerah pegunungan dengan pemandangan indah dan udara sejuk yang berjarak 87 KM disebelah selatan Kota Makassar. Di wilayah ini terdapat perkebunan markisa, perkebunan teh dan tanaman holtikultura yang tumbuh di lereng Gunung Bawakaraeng

9. Agro Wisata Sutera
 
Berada di Kabupaten Wajo. Ditempat ini Disaksikan proses penanaman murbei, cara pemeliharaan ulat sutera, proses pemintalan benang sutera, hingga cara menenun kain sutera

10. Danau Tempe
 
Danau Tempe terletak dibagian barat Kabupaaten Wajo, sekitar 7 Km dari Kota Sengkang menuju tepi sungai walanae. disepanjang tepi danau berjejer permukiman nelayan bernuansa bugis

 
 
 


Minggu, 24 November 2013

Pepatah bugis / makassar

"Ininnawa mitu denre sisappa, sipudoko, sirampe teppaja".

Artinya: Hanya budi baik yang akan saling mencari, saling menjaga, dalam kenangan tanpa akhir.
............................................................................................................................
Lima tessidapi, ada tessi lele..
Rilo2nge to siraga-raga...
Masseddi ati sipaccingngi, sipakalebbi.., sipakatau.., sipakainge.. ripadatta rupa tau
U cuku mariawa
Ta'dampengekka maraja.. engka amma dosaku lao ridii.. baiicu gi nennia maraja
..........................................................................................................................

"pada lao, teppada upe'"
" takdir setiap orang berbeda-beda"
............................................................................................................................

"Mali' si parappe' sipatuo sipatokkong"
.........................................................................................................................

SEMBOYAN TELLU POCCOE OLEH 3 KERAJAAN BUGIS : BONE, SOPPENG, WAJO

Malilu sipakainge rebba sipatokkong sipedapiri ri periâ nyameng tellu tessibaicukkeng tessi acinnai ulaweng tasa pattola malampe waramparang maega iya teya ripakainge iya riadduaiâ

Artinya :
yang khilaf diingatkan yang rebah ditopang saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan tiga tidak ada yang dikecilkan tidak saling merebut kekayaan saling mengakui hak kepemilikan
..........................................................................................................................

"Taro Ada Taro Gau"

artinya: Seia antara kata dan perbuatan

Makna: Apa yang kita ucapkan (baca: janjikan) haruslah ditepati

cocok buat suasana sekarang yang lg musim kampanye. Jangan hanya janji-jani Parpol tapi realitas tidak ada.
..............................................................................................................................

"reso temmangingi namalomo naletei pammase dewata"
artinya:
"kerja keras dengan penuh keikhlasan dan tak lupa berdoa agar tujuan kita dapat tercapai"
...............................................................................................................................

duami kuala sappo unganna panasae sibawa belo kanuku...
Artinya :
( dua yg saya jadikan pegangan kejujuran dan kesucian)
................................................................................................................

"Rette' Temma Rette' Na De'na MaraddE....."

Ditebas-tebas tidak berbuah hasil.........
...........................................................................................................

Riolo.............
Maradeka To WajoE Ade'na Napopuang.....

Makkokwe...........
Maddareke To Wajo Nade'na Kapaupauw.........
........................................................................................................................

"Masagala Balewe......na Baliwi"
"Manessa Tongengnge....na Tongkangnge"
"Rupa tau...na Rupa Itai..."
"Balechos....forver" ....."Bale cedde na coki senkkang!"
.......................................................................................................................

PRINSIP BERLAYAR ORANG MAKASSAR (GOWA-TALLO) :

"PUNNA ALLA'BAMMI SOMBALAKA....,KUALLEANGI TALLANGA NATOALIA..."

ARTINYA : "JIKA LAYAR TELAH DIKEMBANGKAN.....,LEBIH BAIK TENGGELAM DARI PADA HARUS KEMBALI KEHALUAN..."
........................................................................................................................

pada idi, pada elo, sipatuo sipatokkong.....................(PIPOSS) tujuan---> palopo, masamba, mamuju, POKOKnya daerah2 mabelaemi... biasana oto panthermi wola lisu kampongnge (sawitto)

ewako pantnher...
..........................................................................................................................

leppe wali kanggulung'na..

artinya: kedua bantal terlepas dari tangan


maksudnya: harapan mendapatkan yang lebih, tetapi tapi karena keserakahan tak satupun yang didapatkan.
........................................................................................................................


taro ada taro gau (kadang ada kadang tidak ada) ......he
....................................................................................................................

samanna wenneng pute, innong kinnong dieja baja-baja, bali' sipupureng lino..

artinya mungkin "KINCLONG", hehehe
......................................................................................................................

gellang riwatang majjekko
anre anrena menre'e
bali ulu bale...

bahasa bugisnya I LOVE YOU
......................................................................................................................

lebih cepa' lebih bae'... (pepatah org tua kita yg patut d teladani, Jusuf Kalla)

maknanya : jangko malas... kerjai cepat.
......................................................................................................................

Elo Mande tea eco..
Arti.y,, Low maw mkan mkan mie tpii aja muw malasa...
.......................................................................................................................

tabe' di

Kégana mumaberrekkeng, buaja bulu’édé, lompu’ walennaé?
.........................................................................................................................
LONTARA / AKSARA
  • KA --- GA -- NGA
  • PA -- BA -- MA
  • TA -- DA -- NA
  • CA -- JA --NYA
  • YA -- RA -- LA
  • WA -- SA -- A -- HA

  • KA : KARAENG MAPPAJARI NISOMBAYYA TOJENG-TOJENG TENA RAPANNA TENATONG SIPA'JULUI
  • GA : GAU BAJIPPI NIGAUKANG PARALLU NILAKU-LAKU IAPI NAKISALAMA RI LINO TULUSU MANGE RI AKHERA
  • NGA : NGARU-NGARUKO NUTOBA RI GILINGANG TALLASA'NU, MATEKO SALLANG NANUSASSALA KALENNU

  • PA : PAKABAJIKI JUNNU'NU, PAKALANYINGI SATINJA'NU, IAPA ANTU NAMATANGKASA ATINNU
  • BA : BAJIPPI ANTU SATINJA'NU, NAMATANGKASA ATINGNU, NAMPAPI ASSA JE'NE TUJUA RIKAU
  • MA : MAJAI TUMATAPPA MANGGAUKANG PASSURIANG, IAJI NASUSA MALLILIANGA PAPPISANGKA

  • TA : TAENAPA NA BAJI ANTU TARATTE SAMBAYANNU, PUNNA TEAI SAHADA NUPARE PASSIKKO
  • DA : DARAMINTU SAMBAYANNU, PAKKARESO SAREA'NU, PUNNA TEAI JUNNU SATINJA NUPARE POKO'
  • NA : NANROJI BAJI NIPAHANG BICARANNA PAKKIKIA PAPPASANG ANRONG GURUNTA

  • CA : CARAMMENG LOMPO NAPATANNANG PANGGULUNTA NABBI MUHAMMAD SAW LANRI ERO'NA NIPINAWANG TOJENG
  • JA : JANJI MEMANGJI IKAMBE UMMA'NA NABBI MUHAMMAD SAW LIMAI ANTU PARALLU NIPIASSENGI
  • NYA : NYAWAYAJI ANTU AWALLI, ATIA ANTU TUPANRITA, ANTU TUBUA TAMALAKKA'JI RI NABBI MUHAMMAD SAW

  • YA : IYA BAJI NIBOYA, IYA BAJI NIKUNJUNGI, NIAKI ANTU NAMA'NASSA TAENANA
  • RA : RAHASIA TA'COKKO ANDALLEKANGI KARAENNA, GESARAKI ANTU PUNNA TENA PASSIKO'NA
  • LA : LAMBUSU BAJIKI GULINNU, TANNANG BAJIKI OLOANNU, NANU BAJIKI PAPPASANNA ANRONG GURUNNU

  • WA : WAJI'KI NIKATUTUI SAMBAYANG LIMA WATTUA, GESARAKI ANTU PUNNA TAENA PASSIKO'NA
  • SA : SAMBAYANG MINTU BAJI NIBOYA, ERO'NA BAJI NIPINA'NA KAIANTU AMPABATTUKI MANGE RIEMPOANTA
  • A : ATTEKI RI NIA'NA, NIAKI ANTU NATAENA NAKACINIKANG
  • HA : HARUSUKI NIKUSISSING, NITUNTU TOJENG-TOJENG, KATAENA RAPANNA TAENA TODONG SIPA'JULUKINNA KARAENTA 

sumber : http://www.rappang.com/2009/11/pepatah-bugis-makassar.html

Mitos Diimplikasi Dalam Kehidupan Bugis

Jika dikelompokkan dalam kehidupan, masyarakat Bugis terbagi dalam empat kategori, mitos penciptaan semesta dan dunia, yang meliputi fenomena kosmik (bencana alam), cuaca (bulan pakai payung), binatang dan peternakan, penangkapan ikan dan berburu, tanam-tanaman dan pertanian.

Kategori mitos kedua adalah mitos tentang alam gaib, meliputi dewa-dewa roh, kekuatan sakti, makhluk gaib, dan alam gaib. Kategori ketiga adalah mitos sekitar lingkaran kehidupan, lahir, masa bayi, masa kanak-kanak, tubuh manuasia, obat-obatan, rumah dan pekerjaan rumah, mata pencaharian dan hubungan sosial, perjalanan perhubungan, cinta pacaran, dan menikah, kematian dan adat pemakaman dan mitos lainnya (pencuri kebal, pengobatan tradiosional).
Dalam gambaran mitologi tersebut, orang bugis mencandera dunia dan isinya menjadi empat macam citra
  • (1) Lino (dunia Nyata)
  • (2) Bajo-bajo (dunia bayangan)
  • (3) Makrerrek (dunia gaib) dan
  • (4) Mallinrung (dunia maya).
Citra dunia nyata (lino) dibagi pula ke dalam empat benua seperti, seperti :
  1. Bottilangik (dunia atas, langit, bitara) dengan segala isinya yang dijaga oleh dewata langit yang disimbolkan sebagai kepala (ulu) manusia.
  2. Alekkawa (dunia tengah, permukaan bumi) yang dijaga oleh dewata to MallinoE (membumi) dan dilambangkan sebagai dada manusia
  3. Peretiwi (dunia bawah, dasar bumi) yang dijaga oleh dewata-dewata tanah dan dilambangkan sebagai perut dan pantat manusia.
  4. Buriliu (dunia air, dasar samudra, muara air dan dilambangkan sebagai kaki tangan manusia.

Citra dunia bayangan (wajo-wajo) merupakan duplikat dari dunia nyata. Setiap unsur alam nyata memiliki bayangan sebgai zat yang halus selalu mengikuti aslinya. Dunia tersebut bukan dunia fiksi atau imajinasi, tetapi bisa tampak nyata bagi orang yang telah mencapai tahap terawang.

Citra dunia gaib (makerrek), adalah alam keramat yang di dalamnya bersemayam berbagai mahluk dan kekuatan-kekuatan sakti, manusia turunan dewa (tomanurung), dewa-dewa dan tuhan.

Citra alam gaib keramat yang di dalamnnya bersemayam berbagai makhluk dan kekuatan-kekuatan sakti, manusia turunan dewa (tumanurung), dewa-dewa dan tuhan, citra alam gaib ini direpresantasikan dengan puncak gunung atau pohon besar dan benda-benda pusaka yang bertua. Tempat dan benda benda tersebut merupakan tempat bersemayamnya mahluk halus, karena itu dipandang sebagai tempat atau benda yang keramat.

Citra dunia malinnrung adalah dunia di luar jangkauan panca indera manusia, suatu dunia di luar batas akalnya. Orang Bugis menyebut dunia maya ini dengan sebutan (Pammasareng) alam roh (banapati) tempat bermukimnya leluhur (turioloE) dan mahluk halus (tau tenrita).


sumber : http://www.rappang.com/2009/12/mitos-diimplikasi-dalam-kehidupan-bugis.html

Mitos Manusia Kembar Buaya Dalam Masyarakat Bugis

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae .             
   Sebenarnya saya sendiri belum merasa percaya akan adanya hal yang dikatakan bahwa mitos tentang manusia kembar buaya ini. Bagaimana mungkin seorang manusia yang berjenis kelamin perempuan mampu ataupun tidak sengaja melahirkan bayi kembar manusia dan buaya. Ketika berfikir secara logika tentunya tidak mungkin, gen yang dibawa oleh manusia dan buaya saja sudah berbeda. Kalaupun dikatakan adanya hal tersebut terjadi hanya pada beberapa masyarakat bugis-makassar yang masih mempercayai akan adanya hal tersebut yang dapat memberikan mereka peruntungan jika memelihara nya persis dengan kembaran manusia nya.
   Menyangkut yang pertama, manusia beranak buaya adalah "hal" yang mustahil, karena dilihat dari ilmu genetika, gen manusia tidak sama dengan gen buaya. 
   Orang yang kembar buaya ini biasanya turun temurun dari generasi kegenerasi pada suku Bugis dan Makassar yang tradisi dan ritul-ritualnya tak bisa terelakkan buat generasi penerusnya. Dan jika sengaja mengabaikan maka akan mengalami semacam kejadian–kejadian aneh yang tidak bisa diterima dengan akal sehat manusia. Untuk menelusuri asal muasalnya kepercayaan ini tentu susah mencari sumbernya karena sudah melewati banyak generasi, namun mengenai tradisi-tradisi yang sering mereka buat sering kita temui. 
  Jika orang yang punya keturunan kembar buaya ini menikah dia harus melakukan “bebuang” semacam sesaji yang berbentuk kapal dari daun pisang yang berisi telur, lilin, kacang-kacangan dan di hayutkan dilaut dengan bantuan orang pintar (sandro), Disertai ikatan benang kuning di tangannya sewaktu bersanding atau mengucapkan akad nikah. Jika ritual ini tidak di laksanakan oleh orang yang bersangkutan, maka akan terjadi kejadian aneh-aneh semasa pesta perkawinannya.
   Begitu juga ketika si generasi keturunan kembar buaya tersebut hamil 7 bulan dan sebelum melahirkan juga melakukan ritual “bebuang” tersebut. Tapi yang menakjubkan mereka yang punya keturunan kembar buaya ini, katanya mereka bisa selamat jika terjadi kecelakaan di laut atau yang masih berhubungan dengan air.
   Namun setelah diungkap dan beberapa opini yang saya dapatkan dari penelitian ilmiah, bahwa hal tersebut hanyalah mitos belaka. Manusia yang lahirnya bersamaan lahirnya buaya hanya dikatakan kembaran buaya karena tepat bersamaan dengan buaya tersebut ataupun saja orang jaman dahulu disuku bugis-makassar mengatakan sebenarnya itu fakta, namun tidak mungkin secara ilmiah seorang wanita melahirkan seorang bayi buaya. Semua yang terjadi bertentangan dengan genetika.
   Sekian mungkin kutipan  yang bisa saya tuliskan pada artikel ini, ada baiknya kita tidak langsung mempercayai adanya hal-hal yang aneh yang dianggap mitos dimasyarakat sekitar. Semua hanya kembali pada Allah SWT karena hanya dialah yang maha menciptakan. 

sumber : http://aunhyy.blogspot.com/2013/05/mitos-manusia-kembar-buaya-dalam.html?showComment=1385343983420#c6710006147903406618
 
 
 

Sabtu, 23 November 2013

Nasu Palekko

Salah satu kuliner khas dareah saya, Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, yaitu Nasu palekko’. Nasu Palekko’ awalnya masakan yang di nikmati saat berkumpul dengan teman-teman saat jaman sekolah dulu, ataupun saat menjamu tamu yang berkunjung di daerah saya. Terlebih lagi ibu saya, yang begitu antusias menyajikan masakan ini saat teman-teman dari daerah lain berkunjung ke rumah, dan tak jarang menjadi oleh-oleh setelah di kemas secara khusus agar tidak basi.
Tetapi karena begitu banyak yang ketagihan dan penasaran dengan Nasu palekko’, beberapa pihak menjadikan masakan ini sebagai lahan bisinis, di daerah maupun di kota besar, dari membuka warung hingga di jual langsung ke pembeli dengan cara mengantar langsung sesuai pesanan seperti yang saya lakukan.
Nasu palekko’ menjadi favorit karena rasanya yang ekstra pedaaasss apalagi itik berbeda dengan ayam, jika ayam dagingnya lebih banyak, itik lebih banyak tulangnya, jadi sensasi saat makan itu benar-benar nikmat, menghisap pedisnya di sela-sela tulang. Hmm….
Maka saat menarik dan slalu di rindukan adalah saat menikmati Nasu palekko’ ini bersama keluarga ataupun teman karena saat makan akan terlihat berbagai ekspresi dan gaya, dari bibir yang dower, wajah yang kemerahan, mata yang berkaca-kaca bahkan ada yang sampai menangis, mulut yang komat kamit, keringat yang bercucuran, hingga ingus yang meler karena pedasnya. Sangat seru dan lucu.
Bagi pecinta masakan pedas sudah pasti tergiur dengan masakan ini.
Selain itu, yang menjadikan masakan ini salah satu menu andalan apalagi saat hari lebaran adalah karena bahan-bahannya yang mudah di dapatkan dan sangat praktis dalam proses pembuatannya.
Dan karena saya adalah satu penjual Nasu palekko’, saya akan berbagi cara membuat dan tips-tips dari Nasu palekko’.
Saat membeli itik, belilah itik muda karena jika itiknya tua sudah pasti dagingnya juga keras. Jika di daerah saya, saat kami mengatakan ingin membuat Nasu palekko’, penjual itik sudah mengerti dan memilihkan itik muda dan langsung mencincang itik tersebut, sehingga tidak perlu lagi repot mencincangnya saat di rumah. Tiba di rumah, itik yang sudah di cincang di cuci dengan air kemudian campurkan dengan asam jawa secukupnya, gunanya untuk menghilangkan bau amis dari itik.
Setelah bau amisnya hilang, pisahkan kulit dengan daging itik. Kulit itik tersebut akan menjadi minyak untuk menggoreng,  jadi tidak perlu lagi memakai minyak goreng.
Untuk bumbunya, 1 ekor itik,  sediakan 1/2 kilo lombok, 1 siung bawang putih, 3 siung bawang merah, merica butir 2 sendok makan, jahe seukuran 2 jempol orang dewasa, dan garam secukupnya. Bumbu di campur menjadi satu lalu di haluskan. Untuk tingkat kepedisannya, dapat di sesuaikan dengan selera. Jika ingin lebih pedis lagi, lombok, jahe, dan merica di campurkan lebih banyak.
Setelah itu, ambil wajan, masukkan kulit itik, biarkan hingga minyaknya keluar, kemudian tiriskan kulit. Minyak yang sudah ada lalu di gunakan  untuk menumis bumbu yang sudah di haluskan.  Dan setelah bumbu di tumis, masukkan kembali kulit dan daging itik. Aduk hingga bumbu meresap, sesekali berikan air hingga matang.
Nasu palekko’ di sajikan dengan nasi putih panas, atau bisa juga dan tak kalah lezatnya di nikmati dengan gogos dan telur asin.
Untuk 1 ekor itik, bisa di nikmati hingga 6 orang bahkan lebih tergantung kekuatan menahan pedasnya.
Sediakan juga air putih dan makanan penutup yang manis untuk menutupi pedasnya lidah dan sekitarnya setelah makan Nasu palekko’.
Sekian.
Selamat mencoba dan menikmati. Salam Masakan Bugis


sumber : http://wisata.kompasiana.com/kuliner/2013/10/31/nasu-palekko-masakan-pedas-nan-lezat-dari-bugis-606347.html

Kamis, 21 November 2013

Sedikit Mitos Tentang Nenek Pakande

Dikisahkan, pernah suatu waktu sebuah daerah di Soppeng (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan) didatangi oleh seorang nenek. Dilihat dari penampilannya, nenek ini hanyalah orang biasa - yang rambutnya berwarna putih dengan konde di kepala, berwajah keriput, tubuh setengah membungkuk, dan pakaian dari sarung batik dan kemeja. Orang-orang di daerah tersebut, yang terkenal ramah dan damai, menerima saja kedatangan si nenek. Mereka tidak mengetahui bahwa nenek yang datang ke wilayah mereka adalah Nenek Pakande.

Kalian tahu, siapa Nenek Pakande itu? Wujud asli Nenek Pakande adalah sesosok siluman, yang senang memakan daging manusia. Terlebih lagi daging anak-anak. Hiii... Nama Pakande diambil dari bahasa Bugis, yaitu "manre" yang artinya "makan". Nenek Pakande sudah menjadi cerita rakyat bagi masyarakat Soppeng sana.

Nenek Pakande biasa melakukan aksinya saat pergantian hari, yaitu saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Karena, tidak ada yang mencurigai kehadiran Nenek Pakande di daerah tersebut, maka ia leluasa melakukan aksinya. Korban pertama Nenek Pakande di daerah tersebut adalah dua kakak beradik yang masih di luar, saking serunya mereka bermain.

Ibu mereka sebenarnya sudah menyuruh masuk. "Nak, ayo cepat masuk rumah. Hari sudah malam!"

Sayangnya, kedua bocah tersebut hanya menganggap perintah Ibunya sebagai angin lalu. Hingga, Nenek Pakande dengan cepat menculik mereka untuk dibawa ke rumahnya. Di sana, si Nenek menyantap kedua bocah tersebut. Sementara, Ibu kedua bocah tadi kebingungan mencari kedua anaknya yang mendadak hilang dari halaman rumahnya.

Gegerlah daerah tersebut karena hilangnya dua bocah malang tanpa dosa. Tetua adat meminta warga, khususnya para pria, melakukan penyisiran. Namun, hasilnya nihil. Dua bocah itu tetap tidak ditemukan.

Belum hilang aura kesedihan di daerah tersebut, keesokan hari seorang bayi yang tengah ditinggal ibunya ke belakang tiba-tiba menghilang. Nenek pendatang barulah yang menculik bayi tersebut dan memakannya di rumahnya. Setelah kenyang, si Nenek berpikir untuk menetap selama penyamarannya belum terbongkar. Warga yang membantu mencari, tentu tidak ketemu si bayi karena memang sudah tidak ada lagi di dunia.

***

Gara-gara kejadian ini, diadakanlah rembug kampung. Para tetua dan warga berdiskusi mengenai peristiwa yang meresahkan ini. Tentu mereka takut kalau anak-anak mereka yang menjadi korban berikutnya.

"Tentu kita tidak boleh mendiamkan hal ini. Dua kejadian belakangan ini sudah cukup meresahkan. Kami khawatir, yang jadi korban berikutnya, adalah anak-anak kami."

"Ya, memang kita tidak akan mendiamkan hal ini. Hanya saja, siapa yang sudah melakukannya?"

"Sepertinya, ini cara yang dilakukan oleh Nenek Pakande."

"Nenek Pakande? Bagaimana dia bisa masuk ke tengah-tengah masyarakat kita tanpa dicurigai? Dan siapa orangnya yang menjadi Nenek Pakande?"

Semua orang saling memandang, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kita semua tahu, ada seorang warga baru di kampung ini."

"Siapa?"

"Seorang nenek yang tinggal persis di batas terluar kampung ini."

"Apakah dia Nenek Pakande yang dimaksud?"

"Bukan menuduh. Tapi, semenjak kedatangannya..."

"Kenapa kita tidak kesana saja sekarang dan membunuhnya?"

"Tidak. Kita semua tahu, Nenek Pakande adalah cerita rakyat yang berilmu tinggi. Tidak ada seorang pun dari kita yang memiliki kekuatan gaib setimpal dengannya."

"Mmm, apa sebaiknya kita meminta tolong Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale?"

Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah raksasa setinggi sekitar 7 hasta. Raksasa itu juga doyan memangsa manusia. Bedanya, Raja Bangkung hanya memangsa manusia jahat yang tidak disukainya.

"Ya, mungkin bisa. Tapi, keberadaan Raja Bangkung sudah lama tidak pernah terdengar atau terlihat lagi."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

Suasana hening. Tidak seorang pun yang buka suara. Disaat itu, La Beddu, seorang pemuda cerdik angkat bicara.

"Maaf, bolehkah saya berbicara? Saya punya ide mengenyahkan Nenek Pakande dari kampung ini, selamanya," ujar La Beddu.

"La Beddu, kamu cuma pemuda biasa! Dibanding Nenek Pakande yang berilmu tinggi, kamu tidak ada apa-apanya," seorang warga berkata merendahkan.

Tetua adat menenangkan warga. "Biarlah La Beddu mengemukakan idenya."

La Beddu tersenyum kecut, ia melanjutkan bicaranya. "Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian. Selama ini, aku dikenal sebagai pemuda cerdik. Tapi, ada perbedaan antara cerdik dan licik. Nah, mari kita pakai cara licik untuk mengalahkan kesaktian Nenek Pakande."

"Apa kamu tidak takut dengan Nenek Pakande?"

"Orang yang berani bukanlah orang tanpa rasa takut. Saya memiliki rasa takut itu, tapi saya memilih untuk melawan rasa takut itu."

Warga yang mendengar kata-kata La Beddu menjadi semangat kembali.

"Kali ini kita akan mengerjai Nenek Pakande. Tapi, saya minta, permintaan saya dipenuhi. Saya membutuhkan beberapa ekor belut, kura-kura, salaga (garu), busa sabun satu ember, kulit rebung yang telah kering, dan sebuah batu besar. Jika semua sudah tersedia, kumpulkanlah di rumah saya."

Warga memenuhi permintaan La Beddu, walaupun mereka belum mengerti apa maksud La Beddu. Mereka mengikuti permainan La Beddu.

***

Keesokan hari, saat malam menjelang, semuanya telah dipersiapkan untuk menjebak Nenek Pakande. Seorang bayi ditaruh di rumah La Beddu dengan pengawasan ketat demi memancing Nenek Pakande.

Benar saja, Nenek Pakande terpancing dan menuju rumah La Beddu. Karena, mencium aroma bayi. Lagipula, hanya rumah La Beddu saja yang diterangi lampu minyak. Nenek Pakande tidak curiga sama sekali bahwa itu adalah jebakan warga. Saat telah berada di depan kamar yang ada bayinya, terdengarlah suara. Suara itu suara La Beddu yang bersembunyi di atas atap, yang dibuat seolah-olah seperti Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.

"Nenek Pakande, kenapa kamu datang kemari?" tanya La Beddu yang tengah menyamar.

"Saya ingin mengambil bayi ini untuk dimakan."

"Jangan kamu makan bayi tidak bersalah. Dasar kamu siluman tua! Pergi dari desa ini, kalau tidak, kumakan kamu!"

"Saya tidak percaya kalau kamu Raja Bangkung!"

La Beddu memerintahkan warga untuk menumpahkan air sabun, supaya si nenek percaya bahwa itu air liur Raja Bangkong.

"Saya sedang lapar, Nenek Pakande. Lihat air liurku sudah mengalir. Jika kamu tidak segera enyah, kumakan kamu!"

"Saya yakin kamu hanya orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung!"

La Beddu memerintahkan lagi warga untuk menjatuhkan sisir yang besar dan kura-kura secara beruntun.

Melihat hal tersebut, nyali Nenek Pakande menciut juga. Tanpa menunggu lama lagi, Nenek Pakande lari keluar dan tidak melihat belut yang diletakkan di dekat tangga keluar oleh warga. Membuat Nenek Pakande jatuh berguling-guling di tangga. Kepalanya membentur batu besar yang sudah disiapkan di bawah tangga. Walaupun limbung, Nenek Pakande tetap memaksa untuk berdiri. Sebelum meninggalkan desa itu, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.”

***

Demikianlah Cerita Rakyat berjudul Nenek Pakande, Siluman Pemangsa Manusia ini kami tulis. Adapun pesan tersirat dalam Cerita Rakyat ini adalah sikap yang ditunjukkan oleh La Beddu bahwa akal sehat mesti diutamakan dalam menghadapi berbagai persoalan. Semoga kita dapat mengambil manfaat dari Cerita Rakyat ini.

Rabu, 20 November 2013

"Maccera Tappareng" Syukuran Masyarakat Wajo Di Atas Danua Tempe

Aspek budaya masyarakat yang dilakukan oleh nelayan Danau Tempe adalah tanda kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diperoleh dari hasil menangkap ikan di danau. Budaya ini dikenal dengan nama maccera tappareng. Bentuk prosesi yang dilakukan dalam acara adat maccera tappareng adalah acara syukuran makan bersama dengan hidangan dari sumbangan nelayan, sosialisasi larangan yang terdiri dari dilarang menangkap pada malam Jumat dan hari Jumat, tidak boleh membawa dua alat tangkap dan tidak boleh berselisih di danau. Ketiga larangan tersebut memiliki makna lingkungan terhadap pengelolaan perikanan di Danau Tempe, yaitu:

1. Larangan menangkap ikan di danau pada malam jumat dan hari jumat, memiliki makna ekologis dan makna religius. Makna ekologisnya adalah dengan adanya satu hari dalam seminggu tidak menangkap ikan di danau dapat mengurangi tekanan ekologis akibat penangkapan ikan. Makna lainnya adalah makna religius yaitu adanya nilai religius nelayan Danau Tempe yang menganggap malam jumat dan hari jumat sebagai waktu yang sakral untuk beribadah.

2. Tidak boleh membawa dua parewa mabbenni atau alat tangkap menetap yang bermalam, memiliki makna ekologis dan makna sosial. Makna ekologisnya adalah untuk mengurangi eksploitasi terhadap ikan di danau akibat alat penangkapan ikan yang terlalu banyak. Makna sosialnya adalah agar tidak ada kesan perbedaan antara nelayan kaya yang memiliki alat tangkap banyak sehingga dapat menangkap ikan lebih banyak dibandingkan dengan nelayan yang hanya memiliki satu alat tangkap dan hanya dapat menangkap ikan sedikit.

3. Tidak boleh berselisih dan menyelesaikan masalah di danau. Maknanya adalah makna lingkungan sosial masyarakat yang menghindari konflik sosial antar nelayan. Nelayan yang berselisih di danau tidak boleh menyelesaikan masalahnya di danau karena dapat berakibat fatal jika terjadi perkelahian dan tidak orang yang melerai. Oleh karena itu masalah yang terjadi di danau harus diselesaikan di darat dengan cara musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh adat atau aparat.

Walaupun pelaksanaan budaya ini tidak dilaksanakan lagi setiap tahun, tetapi larangan ini masih cukup efektif penerapannya. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam UU PLH pasal 9 ayat 1 yaitu pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta UU Perikanan pasal 6 ayat 2 yaitu pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Hal ini sesuai juga dengan Perda Nomor 5 Tahun 2000 pasal 32 mengenai larangan-larangan dalam penangkapan ikan di Danau Tempe.

Pelanggaran atauran maccera tappareng tersebut disebut idosai dan jika terjadi pelanggaran maka nelayan bersangkutan harus melakukan maccera tappareng sendiri. Orang yang memimpin pelaksanaan maccera tappareng adalah Macoa Tappareng yang dipilih dari nelayan karena memiliki pengetahuan mengenai adat istiadat di danau. Maccera tappareng diadakan setelah nelayan Danau Tempe mendapatkan hasil menangkap ikan yang banyak, umumnya setelah banjir dan air sudah tenang serta pa’bungka toddo panen hasilnya.

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa adanya budaya masyarakat di Danau Tempe hanya diketahui oleh 45,0 % responden, sementara 7,1 % menyatakan tidak ada, dan 47,9 % menyatakan tidak tahu. Rendahnya pengetahuan tentang adanya budaya sebelum atau sesudah menangkap ian di Danau Tempe disebabkan pelaksanaan budaya seperti maccera tappareng sudah tidak terlalu ramai pelaksanaannya. Bahkan sebagian masyarakat menyatakan budaya ini tidak lagi dilaksanakan setiap tahun, tetapi nanti setelah ada rezeki yang melimpah dari hasil menangkap ikan di danau. Sementara budaya mengenai pelestarian danau, masih satu paket dengan budaya maccera tappareng, dimana aturan-aturan adat akan dijelaskan kembali pada saat pelaksanaan budaya tersebut. Berdasarkan jawaban responden, 28,0 % menyatakan bahwa budaya pelestarian danau ada, 10,4 % menjawab tidak ada, dan 61,6 % menjawab tidak ada. Budaya maccera tappareng merupakan acara adat yang dilaksanakan turun temurun untuk menjaga sumberdaya ikan di danau serta tanda kesyukuran atas rezeki yang diperoleh dari hasil Danau Tempe.

Pelaksanaan budaya ini sudah tidak dilakukan tiap tahun, karena hasil panen ikan yang tidak cukup. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak ramai seperti tahun 1980-an.

Kondisi budaya maccera tapareng ini pernah ditulis pada beberapa media yang menggambarkan bahwa budaya ini sudah tidak ramai seperti tahun 1980-an. Seperti yang ditulis dalam harian Kompas (2003) yang mewawancara salah seorang nelayan yang menyatakan bahwa kami sangat rindu dengan tradisi-tradisi yang dulu selalu kami rayakan setiap tahun. Sekarang, apalagi yang mau dirayakan kalau ikan-ikan sudah tidak lagi melimpah seperti dulu. Sepertinya kalaupun kami melakukan upacara memanggil ikan-ikan itu kembali, tidak akan menolong keadaan. Bagaimana mau datang, kalau danaunya saja sudah hampir kering.

Dalam upacara ini, para nelayan, terutama yang berdiam di sekitar Danau Tempe, berkumpul mengucap syukur. Ucapan syukur ini di antaranya dilakukan dengan upacara tertentu dan memotong kerbau. Acara pemotongan kerbau ini kemudian dirangkai dengan acara makan-makan layaknya pesta. Untuk menambah kemeriahan acara ini, biasanya para nelayan mengadakan lomba perahu. Selain itu juga digelar acara mappadendang, yakni tari-tarian yang diiringi lagu-lagu adat setempat. Lebih dari itu semua, inti acara ini juga adalah ajang silaturahmi bagi para nelayan dan masyarakat setempat. Saat Danau Tempe masih jaya, tradisi ini menjadi salah satu penarik bagi wisatawan. Pelaksanaan tradisi ini biasanya dirangkaikan dengan Festival Danau Tempe yang diadakan hampir setiap tahun. Festival Danau Tempe ini pula yang dulu menjadi tujuan wisatawan terbesar ketiga setelah Toraja dan Pantai Bira.

Tetapi saat ini maccera tappareng sudah tidak pernah lagi dilaksanakan nelayan setempat. Terakhir, upacara adat ini dilaksanakan tiga tahun lalu. Tidak dilaksanakannya upacara ini bukan karena nelayan setempat tidak mau dan tidak mampu lagi melaksanakannya, tapi lebih karena mereka merasa tidak ada lagi yang patut diupacarakan. Demikian isi kutipan wawancara oleh Harian Kompas.

Macoa Tappareng masing-masing ada pada setiap desa dan kelurahan dalam kecamatan di sekitar Danau Tempe yaitu Tempe, Tanasitolo dan Sabbangparu. Kecuali Kecamatan Belawa, Macoa Tappareng sudah lama tidak berperan karena adanya ketua adat (Datu) yang menguasai hampir semua wilayah danau di Belawa. Khusus di Kecamatan Tempe terdapat Ketua Macoa Tappareng yang memimpin acara Maccera Tappareng setiap tahun di Danau Tempe. Macoa Tappareng memiliki forum pertemuan untuk membahas jika ada permasalahan di danau yang dilaksanakan di Bola Seratu’e Atakkae, Kecamatan Tempe.



sumber :  http://adhie-1.blogspot.com/2011/02/maccera-tappareng.html#.Uo2yZuJ7-Uk

Mengenal Agama Hindu Towani (ToLotang) Di Kab. Sidrap

 

Di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten Sidrap) Sulawesi Selatan ada komunitas yang menganut Agama Lokal atau yang disebut sebagai agama To Lotang. Mereka sebenarnya sudah mengenal Tuhan terlebih dahulu dari agama pendatang yang mengaku-aku, bahwa merekalah yang memperkenalkan konsep Tuhan kepada Masyarakat Bugis secara umum, sementara Agama-agama import ini menyudutkan masyarakat yang ber-Agama To Lotang ini, sebagai Animisme dan Dinamisme.

Dewata SeuwaE / DewataE (Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai Gelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sacral tersebut jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan ucapan Lautang, yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).

Masyarakat To Lotang (To Lautang – dari arah Lautan) percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah Tenggelam-nya Atlantis, Red),
Menurut Versi Buku I Lagaligo ceritanya antara lain:
Suatu ketika, PatotoE sedang tertidur lelap, sementara tiga pengikutnya (Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung) yang dipercayakan untuk menjaganya, justru mengambil  untuk sekejap pergi mengembara ke dunia lain.
Ketika ketiganya sampai di bumi, mereka melihat ada dunia yang masih kosong, dan ketika kembali dari pengembaraannya, ketiga pengikut tersebut menceritakan kepada PatotoE, mengenai pengalaman mereka, bahwa ternyata ada dunia yang masih kosong.
Lalu ketiganya mengusulkan, agar PatotoE dapat mengutus seseorang untuk tinggal di dunia yang masih kosong tersebut. Ternyata PatotoE sepakat dengan ketiga pengikutnya tersebut, lalu PatotoE berunding dengan istrinya Datu Palinge, serta seluruh pimpinan di negeri Kayangan.
Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru (yang kini disebut sebagai Tomanurung.) turun ke bumi terlebih dahulu.

Setelah beberapa saat tinggal di bumi, Batara Guru merasa kesepian, Ia memohon agar kiranya dapat diturunkan satu manusia lagi ke bumi, untuk menemaninya.
Oleh karenanya diturunkanlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang, yang kemudian dinikahi oleh Batara Guru. Hasil dari pernikahan tersebut, melahirkan seorang putra, bernama Batara Lettu.
Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai.

Dari hasil pernikahannya melahirkan dua anak kembar, Putra dan Putri. Putranya diberi nama Sawerigading, sedangkan Putri-nya diberi nama I Tenriabeng.
Sawerigading kemudian menikah dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina, dan melahirkan seorang anak, yang bernama Lagaligo

 
Pada masa Sawerigading, terciptalah negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo. Penduduk sangat menghormati perintahnya. Tetapi, setelah Sawerigading meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pergolakan dimana-mana, hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata SeuwaE lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah kekosongan dunia (Tenggelamnya Atlantis) untuk kedua kalinya..

Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.

Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi.
Wahyu yang diturunkan kepada La Panaungi adalah:
Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakan. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. *
Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Tetapi sebelum kuberikan wahyu ini kepadamu, bersihkanlah dirimu terlebih dahulu, dan setelah engkau menerima wahyu ini, engkau wajib untuk menyebarkannya pada anak cucumu.

Suara itu turun tiga kali berturut-turut, untuk membuktikan keyakinan bahwa itu adalah benar-benar wahyu yang turun dari Kayangan.
Selanjutnya DewataE membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis, dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah DewataE.

Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk etempat, hingga banyak pengikutnya. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya diwajibkan untuk mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya.

Salah satu kewajiban tersebut adalah, Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritual, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke Rumah Uwa dan Uwatta.

Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritual pada waktu tertentu, guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritual di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan.
Tolotang juga mengenal Empat Unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.

Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam).

Nasi Putih diibaratkan Air, Nasi Merah diibaratkan Api, Nasi Kuning diibaratkan Angin, dan Nasi Hitam diibaratkan Tanah. Oleh karenanya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.

Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE, dan meminta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi banyak diziarahi pengikutnya, tidak hanya pada ritual tahunan saja.
Penganut agama Tolotang ini sempat berkembang, tetapi pada abad ke-16, ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang cenderung menurun karena hampir semua kerajaan bugis masuk Islam.
Saat inilah terjadi untuk pertama kalinya Islamisasi di Tolotang. Tetapi berkat ketaatan masyarakatnya terhadap Agama yang dianut oleh Leluhur mereka sebelumnya, maka mereka pun, masih dapat bertahan hingga kini.

Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya, dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pada tahun 1610 di Wajo kerajaan Batu pun masuk Islam sehingga semua rakyatnya diwajibkan masuk Islam.
Saat ini terjadi Islamisasi yang kedua kalinya di wilayah tersebut, yang menimpa Masyarakat To Lotang..
Orang-orang Wani (Berani) semua menolak masuk Islam, sehingga mereka diusir dari tempat tinggalnya, dan mengungsi ke tempat lain yang mau menerima mereka.

Dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo, dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita, yang kemudian mengadakan Perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi.

Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
1.      Adat Sidenreng tetap utuh serta harus dipatuhi
2.      Keputusan harus dipelihara
3.      Janji harus ditepati
4.      Suatu keputusan yang telah berlaku harus dilestarikan
5.      Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Kalau pada tahun 1966 kita mengenal Hinduisasi, pada saat tersebut di atas terjadi Islamisasi

Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian nama tersebut diganti dengan nama Perrinyameng, yang berarti setelah susah datanglah senang.

Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng.
Dalam Versi Lain dari Buku I Lagaligo ::
Dengan Jelas disebutkan, bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. (Yang Menentukan Takdir)
Jadi Agama Lokal To Lotang ini, adalah bukan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama Import, yang bukan lagi anggota dari komunitas To Lotang tersebut.
Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
1.      Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
2.      Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia (Karena mungkin Nenek Moyang Mereka mengalami proses tenggelamnya Atlantis Red.)
3.      Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat (Dari Nenek-nenek Moyang mereka yang selamat dari tenggelamnya Atlantis, mereka mendapat kabar tersebut Red.)
4.      Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
5.      Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Mungkin perlu diluruskan, bahwa Menyembah kepada Batu-batuan, Sumur, dan Kuburan Nenek Moyang, adalah Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Jadi hal ini jangan menjadikan kita menghakimi mereka adalah Animisme Dinamisme.
Kalau saya boleh bertanya, apakah ada Agama di Dunia ini yang tidak memiliki Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana KonsentrasiKaabah (Sebuah Bangunan) juga merupakan Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.

Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang).
Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-Agama-an, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan.

Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam.
Bagi Komunitas To Wani To Lotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun Sirih.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin Ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat To Wani To Lotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara (Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.

Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah  tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki), yang kini hanya dilakukan oleh anak-anak.

Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...