Aspek budaya masyarakat yang dilakukan oleh nelayan Danau Tempe adalah
tanda kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diperoleh
dari hasil menangkap ikan di danau. Budaya ini dikenal dengan nama
maccera tappareng. Bentuk prosesi yang dilakukan dalam acara adat
maccera tappareng adalah acara syukuran makan bersama dengan hidangan
dari sumbangan nelayan, sosialisasi larangan yang terdiri dari dilarang
menangkap pada malam Jumat dan hari Jumat, tidak boleh membawa dua alat
tangkap dan tidak boleh berselisih di danau. Ketiga larangan tersebut
memiliki makna lingkungan terhadap pengelolaan perikanan di Danau Tempe,
yaitu:
1. Larangan menangkap ikan di danau pada malam jumat dan hari jumat,
memiliki makna ekologis dan makna religius. Makna ekologisnya adalah
dengan adanya satu hari dalam seminggu tidak menangkap ikan di danau
dapat mengurangi tekanan ekologis akibat penangkapan ikan. Makna lainnya
adalah makna religius yaitu adanya nilai religius nelayan Danau Tempe
yang menganggap malam jumat dan hari jumat sebagai waktu yang sakral
untuk beribadah.
2. Tidak boleh membawa dua parewa mabbenni atau alat tangkap menetap
yang bermalam, memiliki makna ekologis dan makna sosial. Makna
ekologisnya adalah untuk mengurangi eksploitasi terhadap ikan di danau
akibat alat penangkapan ikan yang terlalu banyak. Makna sosialnya adalah
agar tidak ada kesan perbedaan antara nelayan kaya yang memiliki alat
tangkap banyak sehingga dapat menangkap ikan lebih banyak dibandingkan
dengan nelayan yang hanya memiliki satu alat tangkap dan hanya dapat
menangkap ikan sedikit.
3. Tidak boleh berselisih dan menyelesaikan masalah di danau. Maknanya
adalah makna lingkungan sosial masyarakat yang menghindari konflik
sosial antar nelayan. Nelayan yang berselisih di danau tidak boleh
menyelesaikan masalahnya di danau karena dapat berakibat fatal jika
terjadi perkelahian dan tidak orang yang melerai. Oleh karena itu
masalah yang terjadi di danau harus diselesaikan di darat dengan cara
musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh adat atau
aparat.
Walaupun pelaksanaan budaya ini tidak dilaksanakan lagi setiap tahun,
tetapi larangan ini masih cukup efektif penerapannya. Hal ini sesuai
dengan peraturan dalam UU PLH pasal 9 ayat 1 yaitu pemerintah menetapkan
kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan
penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat
istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, serta UU
Perikanan pasal 6 ayat 2 yaitu pengelolaan perikanan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan
peran serta masyarakat. Hal ini sesuai juga dengan Perda Nomor 5 Tahun
2000 pasal 32 mengenai larangan-larangan dalam penangkapan ikan di Danau
Tempe.
Pelanggaran atauran maccera tappareng tersebut disebut idosai dan jika
terjadi pelanggaran maka nelayan bersangkutan harus melakukan maccera
tappareng sendiri. Orang yang memimpin pelaksanaan maccera tappareng
adalah Macoa Tappareng yang dipilih dari nelayan karena memiliki
pengetahuan mengenai adat istiadat di danau. Maccera tappareng diadakan
setelah nelayan Danau Tempe mendapatkan hasil menangkap ikan yang
banyak, umumnya setelah banjir dan air sudah tenang serta pa’bungka
toddo panen hasilnya.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa adanya budaya masyarakat di
Danau Tempe hanya diketahui oleh 45,0 % responden, sementara 7,1 %
menyatakan tidak ada, dan 47,9 % menyatakan tidak tahu. Rendahnya
pengetahuan tentang adanya budaya sebelum atau sesudah menangkap ian di
Danau Tempe disebabkan pelaksanaan budaya seperti maccera tappareng
sudah tidak terlalu ramai pelaksanaannya. Bahkan sebagian masyarakat
menyatakan budaya ini tidak lagi dilaksanakan setiap tahun, tetapi nanti
setelah ada rezeki yang melimpah dari hasil menangkap ikan di danau.
Sementara budaya mengenai pelestarian danau, masih satu paket dengan
budaya maccera tappareng, dimana aturan-aturan adat akan dijelaskan
kembali pada saat pelaksanaan budaya tersebut. Berdasarkan jawaban
responden, 28,0 % menyatakan bahwa budaya pelestarian danau ada, 10,4 %
menjawab tidak ada, dan 61,6 % menjawab tidak ada. Budaya maccera
tappareng merupakan acara adat yang dilaksanakan turun temurun untuk
menjaga sumberdaya ikan di danau serta tanda kesyukuran atas rezeki yang
diperoleh dari hasil Danau Tempe.
Pelaksanaan budaya ini sudah tidak dilakukan tiap tahun, karena hasil
panen ikan yang tidak cukup. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak
ramai seperti tahun 1980-an.
Kondisi budaya maccera tapareng ini pernah ditulis pada beberapa media
yang menggambarkan bahwa budaya ini sudah tidak ramai seperti tahun
1980-an. Seperti yang ditulis dalam harian Kompas (2003) yang
mewawancara salah seorang nelayan yang menyatakan bahwa kami sangat
rindu dengan tradisi-tradisi yang dulu selalu kami rayakan setiap tahun.
Sekarang, apalagi yang mau dirayakan kalau ikan-ikan sudah tidak lagi
melimpah seperti dulu. Sepertinya kalaupun kami melakukan upacara
memanggil ikan-ikan itu kembali, tidak akan menolong keadaan. Bagaimana
mau datang, kalau danaunya saja sudah hampir kering.
Dalam upacara ini, para nelayan, terutama yang berdiam di sekitar Danau
Tempe, berkumpul mengucap syukur. Ucapan syukur ini di antaranya
dilakukan dengan upacara tertentu dan memotong kerbau. Acara pemotongan
kerbau ini kemudian dirangkai dengan acara makan-makan layaknya pesta.
Untuk menambah kemeriahan acara ini, biasanya para nelayan mengadakan
lomba perahu. Selain itu juga digelar acara mappadendang, yakni
tari-tarian yang diiringi lagu-lagu adat setempat. Lebih dari itu semua,
inti acara ini juga adalah ajang silaturahmi bagi para nelayan dan
masyarakat setempat. Saat Danau Tempe masih jaya, tradisi ini menjadi
salah satu penarik bagi wisatawan. Pelaksanaan tradisi ini biasanya
dirangkaikan dengan Festival Danau Tempe yang diadakan hampir setiap
tahun. Festival Danau Tempe ini pula yang dulu menjadi tujuan wisatawan
terbesar ketiga setelah Toraja dan Pantai Bira.
Tetapi saat ini maccera tappareng sudah tidak pernah lagi dilaksanakan
nelayan setempat. Terakhir, upacara adat ini dilaksanakan tiga tahun
lalu. Tidak dilaksanakannya upacara ini bukan karena nelayan setempat
tidak mau dan tidak mampu lagi melaksanakannya, tapi lebih karena mereka
merasa tidak ada lagi yang patut diupacarakan. Demikian isi kutipan
wawancara oleh Harian Kompas.
Macoa Tappareng masing-masing ada pada setiap desa dan kelurahan dalam
kecamatan di sekitar Danau Tempe yaitu Tempe, Tanasitolo dan
Sabbangparu. Kecuali Kecamatan Belawa, Macoa Tappareng sudah lama tidak
berperan karena adanya ketua adat (Datu) yang menguasai hampir semua
wilayah danau di Belawa. Khusus di Kecamatan Tempe terdapat Ketua Macoa
Tappareng yang memimpin acara Maccera Tappareng setiap tahun di Danau
Tempe. Macoa Tappareng memiliki forum pertemuan untuk membahas jika ada
permasalahan di danau yang dilaksanakan di Bola Seratu’e Atakkae,
Kecamatan Tempe.
sumber : http://adhie-1.blogspot.com/2011/02/maccera-tappareng.html#.Uo2yZuJ7-Uk
Rabu, 20 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar