
Di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten Sidrap) Sulawesi Selatan ada komunitas yang menganut Agama Lokal atau yang disebut sebagai agama To Lotang. Mereka sebenarnya sudah mengenal Tuhan terlebih dahulu dari agama pendatang yang mengaku-aku, bahwa merekalah yang memperkenalkan konsep Tuhan kepada Masyarakat Bugis secara umum, sementara Agama-agama import ini menyudutkan masyarakat yang ber-Agama To Lotang ini, sebagai Animisme dan Dinamisme.
Dewata
SeuwaE / DewataE (Tuhan
Yang Maha Esa) mempunyai Gelar PatotoE
(Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sacral tersebut
jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
To Lotang atau To Wani merupakan
istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII,
untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To
Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis yang berarti
orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan ucapan Lautang,
yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).
Masyarakat To Lotang (To Lautang – dari arah Lautan) percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah Tenggelam-nya Atlantis, Red),
Menurut
Versi Buku I Lagaligo ceritanya antara lain:
Suatu ketika, PatotoE sedang tertidur lelap, sementara tiga pengikutnya (Rukkelleng,
Rumma Makkapong dan Sangiang Jung) yang dipercayakan untuk menjaganya, justru
mengambil untuk sekejap pergi mengembara
ke dunia lain.
Ketika ketiganya sampai di bumi, mereka
melihat ada dunia yang masih kosong, dan ketika kembali dari pengembaraannya,
ketiga pengikut tersebut menceritakan kepada PatotoE, mengenai pengalaman mereka,
bahwa ternyata ada dunia yang masih kosong.
Lalu ketiganya mengusulkan, agar PatotoE
dapat mengutus seseorang untuk tinggal di dunia yang masih kosong tersebut. Ternyata
PatotoE sepakat dengan ketiga pengikutnya tersebut, lalu PatotoE berunding dengan
istrinya Datu Palinge, serta seluruh pimpinan di negeri Kayangan.
Setelah istrinya setuju, maka
diutuslah Batara Guru (yang kini disebut sebagai Tomanurung.) turun ke bumi
terlebih dahulu.
Setelah beberapa saat tinggal di bumi, Batara Guru merasa kesepian, Ia memohon agar kiranya dapat diturunkan satu manusia lagi ke bumi, untuk menemaninya.
Oleh karenanya diturunkanlah I Nyili
Timo, putri dari Riseleang, yang kemudian dinikahi oleh Batara Guru. Hasil dari
pernikahan tersebut, melahirkan seorang putra, bernama Batara Lettu.
Setelah Batara Lettu dewasa, ia
kemudian dinikahkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai.
Dari hasil pernikahannya melahirkan dua anak kembar, Putra dan Putri. Putranya diberi nama Sawerigading, sedangkan Putri-nya diberi nama I Tenriabeng.
Sawerigading kemudian menikah dengan
I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina, dan melahirkan seorang anak, yang
bernama Lagaligo.

Pada masa Sawerigading, terciptalah negeri
yang Gemah Ripah
Loh Jinawi, Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo.
Penduduk sangat menghormati perintahnya. Tetapi, setelah Sawerigading
meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pergolakan dimana-mana, hingga
banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata SeuwaE
lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah kekosongan
dunia (Tenggelamnya Atlantis) untuk kedua kalinya..
Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.
Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi.
Wahyu
yang diturunkan kepada La Panaungi adalah:
Berhentilah bekerja, terimalah ini
yang saya katakan. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan
memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. *
Akulah Tuhanmu yang menciptakan
dunia dan isinya. Tetapi sebelum kuberikan wahyu ini kepadamu, bersihkanlah
dirimu terlebih dahulu, dan setelah engkau menerima wahyu ini, engkau wajib
untuk menyebarkannya pada anak cucumu.
Suara itu turun tiga kali berturut-turut, untuk membuktikan keyakinan bahwa itu adalah benar-benar wahyu yang turun dari Kayangan.
Selanjutnya DewataE membawa La
Panaungi ke tanah tujuh lapis, dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan
kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi
orang-orang yang mengikuti perintah DewataE.
Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk etempat, hingga banyak pengikutnya. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya diwajibkan untuk mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya.
Salah satu kewajiban tersebut adalah, Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritual, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke Rumah Uwa dan Uwatta.
Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritual pada waktu tertentu, guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritual di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan.
Tolotang juga mengenal Empat Unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.
Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam).
Nasi Putih diibaratkan Air, Nasi Merah diibaratkan Api, Nasi Kuning diibaratkan Angin, dan Nasi Hitam diibaratkan Tanah. Oleh karenanya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE, dan meminta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi banyak diziarahi pengikutnya, tidak hanya pada ritual tahunan saja.
Penganut agama Tolotang ini sempat
berkembang, tetapi pada abad ke-16, ketika Islam berpengaruh di beberapa
kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang cenderung menurun karena
hampir semua kerajaan bugis masuk Islam.
Saat inilah terjadi untuk pertama
kalinya Islamisasi di Tolotang. Tetapi berkat ketaatan masyarakatnya terhadap
Agama yang dianut oleh Leluhur mereka sebelumnya, maka mereka pun, masih dapat
bertahan hingga kini.
Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya, dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pada tahun 1610 di Wajo kerajaan Batu pun masuk Islam sehingga semua rakyatnya diwajibkan masuk Islam.
Saat ini terjadi Islamisasi yang
kedua kalinya di wilayah tersebut, yang menimpa Masyarakat To Lotang..
Orang-orang Wani (Berani) semua
menolak masuk Islam, sehingga mereka diusir dari tempat tinggalnya, dan
mengungsi ke tempat lain yang mau menerima mereka.
Dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo, dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita, yang kemudian mengadakan Perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi.
Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
1.
Adat Sidenreng tetap utuh serta
harus dipatuhi
2.
Keputusan harus dipelihara
3.
Janji harus ditepati
4.
Suatu keputusan yang telah berlaku
harus dilestarikan
5.
Agama Islam harus diagungkan dan
dijalankan.
Kalau pada tahun 1966 kita mengenal
Hinduisasi, pada saat tersebut di atas terjadi Islamisasi
Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian nama tersebut diganti dengan nama Perrinyameng, yang berarti setelah susah datanglah senang.
Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng.
Dalam
Versi Lain dari Buku I Lagaligo ::
Dengan
Jelas disebutkan, bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi.
Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya
dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. (Yang
Menentukan Takdir)
Jadi Agama Lokal To Lotang ini,
adalah bukan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan
oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama Import, yang bukan
lagi anggota dari komunitas To Lotang tersebut.
Agama Tolotang adalah Agama yang
sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah
tersebut.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
1.
Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
2.
Percaya adanya hari kiamat yang
menandai berakhirnya kehidupan di dunia (Karena mungkin Nenek Moyang Mereka
mengalami proses tenggelamnya Atlantis Red.)
3.
Percaya adanya hari kemudian, yakni
dunia kedua setelah terjadinya kiamat (Dari Nenek-nenek Moyang mereka yang
selamat dari tenggelamnya Atlantis, mereka mendapat kabar tersebut Red.)
4.
Percaya adanya penerima wahyu dari
Tuhan
5.
Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE
berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Mungkin perlu diluruskan, bahwa
Menyembah kepada Batu-batuan, Sumur, dan Kuburan Nenek Moyang, adalah Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.
Jadi hal ini jangan menjadikan kita menghakimi mereka adalah Animisme
Dinamisme.
Kalau saya boleh bertanya, apakah
ada Agama di Dunia ini yang tidak memiliki Satu
Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.
Kaabah (Sebuah Bangunan) juga
merupakan Satu Bentuk Arah Sebagai
Sarana Konsentrasi.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang).
Kedua kelompok ini memiliki tradisi
yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-Agama-an, misalnya dalam prosesi
kematian dan pesta pernikahan.
Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam.
Bagi Komunitas To Wani To Lotang,
prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus
dan melapisinya dengan menggunakan daun Sirih.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan
Kelompok To Wani To Lotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin
Ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang,
ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di
Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat
To Wani To Lotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk,
yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian
yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari
kemudian.
Bagi
Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di
sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman
Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung.
Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara
(Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada
saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang
kepada Uwatta.
Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena
adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang
menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa,
atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki), yang kini hanya dilakukan oleh
anak-anak.
Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
Pada saat ritual, mereka duduk
bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta
konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE).
Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan
penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan
Massempe.

Agama Tolatang merupakan agama suku yang eksis hingga saat ini selain agama Kaharingan, sementara agama suku lainnya banyak yang punah
BalasHapusDari semua pnjelasan ini , yg cuma jdi cntoh kok cuma islam terus , kan bnyak agama impor lainnya , law mw arah kosentrasi ibadah 1 arah aj , supaya mnanda kan tuhan yg maha esa kan tdi d bilang satu arah kosentrasi, tpi kok yg d smbah bnyak bgt, sumur buat ap coba d smbah ;!
HapusMengenai tradisi pakaian To Lotang, mereka mengikuti cara berpakaian Muslim waktu itu untuk menyamar sebab diburu dan dikejar2 oleh orang Islam.
BalasHapusSeperti halnya Islamisasi di jawa timur setelah Majapahit hancur, hanya ada 2 pilihan. Masuk Islam atau Mati, itu sebabnya banyak pengungsi ke Bali dan Bromo.
Beda agama hindu
BalasHapusBeda pula agama lokal TOLOTANG
Suntuk !!!
BalasHapusGak tau mau ngapain?
yuk klik link kami nih
asian17.com
di jamin mantap
Berarti atlantis di indonesia dong
BalasHapusIntinya percaya dengan tuhan dn berserah diri kpd nya.
BalasHapus