Sebagian orang menyebutnya songkok to Bone. Ada juga yang menyebut songkok pamiring dan sebagian lagi menyebut songkok recca’. Bentuknya
bulat dengan bagian atas rata dan berlubang kecil di bagian tengah
atas. Umumnya berwarna hitam, coklat, atau krem—di bagian atas—dipadu
warna keemasan di bagian tengah ke bawah.
Sebutan
songkok bone yang banyak diucapkan orang-orang luar Bone, Sulawesi
Selatan, agaknya terkait dengan sejarah pembuat songkok itu, yaitu
orang-orang Bone, khususnya di Awangpone. Sebutan songkok pamiring lebih
menunjuk ujung atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna
keemasan. Biasanya jika bagian bawah berhias benang emas, sebutannya
songkok pamiring, tetapi bila menggunakan emas sungguhan, disebut
songkok pamiring ulaweng (songkok bersisi emas).
Di
Bone sendiri orang-orang lebih menyebutnya songkok recca’. Sebutan
recca’ lebih menunjuk pada proses pembuatannya, yaitu pelepah lontar
dipukul-pukul (recca’) hingga menjadi serat.
Tak
jelas sejak kapan dan siapa yang pertama memopulerkannya di luar
Sulawesi Selatan (Sulsel). Yang pasti, songkok tersebut sudah menyebar
ke mana-mana dan dikenakan banyak orang di Nusantara, mulai dari
masyarakat biasa, selebritas, tokoh politik, pejabat negara, bahkan
orang asing. Tak terbilang lagi segala lapisan orang yang mengenakannya
di sejumlah acara di banyak tempat, entah acara formal maupun tak resmi.
Ada
yang memadankannya dengan setelan jas, ada pula yang menggunakannya
sebagai pelengkap kemeja atau pakaian lainnya. Singkatnya, songkok, yang
pada mulanya semata-mata hanya digunakan untuk pelengkap busana adat
semata dan hanya dipakai pada acara-acara adat resmi, kini sudah menjadi
pelengkap beragam jenis busana di banyak tempat dan berbagai acara. Di
Sulsel lazimnya songkok itu dipadupadankan dengan pakaian adat yang
dikenakan pria berupa sarung sutra dan jas berkancing depan dengan kerah
ala pakaian tradisional China.
Tamu-tamu
asing atau wisatawan yang berkunjung ke Sulsel umumnya gemar mengenakan
songkok recca’ dan membawanya pulang untuk oleh- oleh.
Berbalut emas
Sebenarnya
kalau melihat bahan dasarnya, tidak ada yang istimewa dari songkok
tersebut. Bahan-bahan maupun cara pembuatannya biasa-biasa saja. Sebut
saja pelepah pohon lontar yang dipukul-pukul dan diurai hingga menjadi
serat yang halus. Untuk membuatnya berwarna hitam atau coklat, digunakan
pewarna alami dari beragam buah dan biji-bijian, bahkan lumpur sawah.
Bahan lainnya adalah benang berwarna keemasan dan beberapa helai bulu
rambut kepala kuda yang digunakan sebagai pembatas antara ujung bagian
atas tengah songkok dan bagian lainnya.
Yang
membuatnya istimewa adalah bila songkok ini berada di kepala
orang-orang atau tokoh penting, terkenal, dan semacamnya. Menjadi lebih
istimewa lagi jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu
diganti dengan emas sungguhan. Terlebih jika susunan emas yang
sebelumnya dilebur dan dibuat menyerupai benang itu cukup tinggi dan
hampir menutupi seluruh sisi songkok.
Tak
jelas sejak kapan emas digunakan sebagai salah satu bagian penting dari
songkok recca’. Yang jelas, saat ini penggunaan emas hampir mendominasi
pembuatan songkok recca’, terutama yang digunakan kalangan pejabat,
orang-orang penting, dan kalangan berpunya. Hampir serupa kasta, emas
bahkan menjadi parameter derajat dan kekayaan pemakai songkok ini.
"Umumnya
yang saya buatkan songkok dengan pinggiran emas adalah songkok milik
petinggi atau orang penting seperti gubernur, turunan bangsawan, bupati,
orang-orang kaya, dan seperti itu. Saya juga banyak membuat songkok
yang akan dihadiahkan kepada pejabat-pejabat negara atau menteri, bahkan
tamu asing yang berkunjung ke Sulsel," kata Rahman, pembuat songkok
recca’ di Desa Paccing, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, beberapa
waktu lalu.
Di
Bone, Rahman adalah satu dari tiga ahli pembuat songkok yang
menggunakan emas sebagai bahan penghias songkok. Dua lainnya adalah
Aming dan Nabisa. Di Bone, terutama di Kecamatan Awangpone, banyak yang
pandai membuat songkok recca’. Namun, yang membuat songkok dari emas tak
banyak jumlahnya. Karena hanya sedikit, ketiga perajin itu hampir tahu
siapa-siapa saja orang penting yang pernah mereka buatkan songkok.
"Dari
pejabat-pejabat, menteri, Wakil Presiden era kepemimpinan Megawati,
ketua-ketua partai, anggota DPR, sampai sejumlah pengusaha kaya, baik
yang di Jakarta maupun daerah lain. Tidak terhitung lagi pejabat-pejabat
lokal," kata Rahman.
Dari
pengalamannya membuat songkok, Rahman pernah membuat songkok yang
emasnya mulai dari 15 gram hingga yang totalnya 100 gram. Songkok yang
emasnya mencapai 100 gram dijual dengan harga Rp 20 juta. Selain kadar
emas, harga songkok itu juga dipengaruhi proses pembuatannya yang agak
rumit dan memakan waktu 15 hari hingga hampir satu bulan. Pembuatan itu
terhitung sejak batang lontar dimemarkan.
Songkok
tanpa emas harganya beragam, Rp 30.000-Rp 70.000. Harga songkok
non-emas dipengaruhi oleh kehalusan serat lontar dan kerapian songkok.
Di
Bone, pembuatan songkok sejak awal hingga penyelesaian akhir dilakukan
di tempat yang berbeda-beda kendati semuanya masih satu kecamatan, di
Awangpone. Kecuali penyelesaian akhir—yang meliputi pembentukan songkok
sesuai dengan ukuran kepala dan penambahan benang emas atau emas
sungguhan yang dilakukan perajin di Desa Paccing—proses awal dilakukan
di sejumlah desa lain.
Proses
awal itu antara lain memukul-mukul pelepah lontar menjadi serat halus,
pewarnaan, sampai menganyam serat lontar menjadi songkok. Selanjutnya,
meneruskan anyaman dan membuat bentuk hingga memberi tambahan benang
emas maupun emas.
Pergeseran
Tentang
penggunaan emas pada songkok recca’, A Mappasissi Petta Awangpone,
salah satu keturunan bangsawan Bone yang saat ini menjadi Pemangku Adat
Bone, mengatakan, pada awalnya penggunaan emas itu tak dikenal. Bahkan
model yang sekarang ini dikenal banyak orang sudah merupakan pergeseran
dari model awal yang dikenakan raja-raja Bone.
"Kalau
dulu, modelnya bulat, tak terlalu tinggi, dan bagian atasnya agak
runcing, persis seperti model topi orang Tionghoa. Pinggirannya pun
bukan emas sungguhan, tapi kain berwarna emas. Entah sejak kapan songkok
ini berubah bentuk dan menggunakan emas. Tapi memang sejak dimulainya
penggunaan emas pada songkok, raja, para pembesar, atau bangsawan
umumnya menggunakan songkok yang dibuat dari emas," katanya.
Mappasissi menambahkan, dulu songkok berhias emas sungguhan hanya digunakan oleh raja, pembesar, dan keluarga bangsawan. Rakyat
biasa enggan menggunakannya sekalipun punya uang untuk membuat songkok
berbalut emas. Kalaupun ada orang kaya yang bukan keluarga raja atau
bangsawan yang menggunakan songkok berbalut emas, kadar emasnya tak
boleh melebihi kadar emas songkok yang dikenakan raja. Dengan kata lain,
susunan anyaman emas di bagian sekeliling songkok tak boleh lebih
tinggi daripada yang dimiliki raja. "Tapi sekarang karena zamannya sudah
beda, siapa pun, asal suka dan mau, boleh membuat dan mengenakan
songkok dari emas," kata Mappasissi.
Agaknya,
karena alasan itu pula songkok recca’ kini bukan lagi menjadi milik
orang Sulsel, tetapi menjadi milik siapa pun yang suka mengenakannya.
Bahkan songkok recca’ tak lagi dibuat di Bone saja, tetapi juga sudah
dibuat perajin di sejumlah kabupaten lain di Sulsel. Hal ini pula yang
mungkin membuat songkok recca’ sudah melanglang buana dari Bone,
keliling Indonesia, bahkan dunia.
Selasa, 19 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar