Gurutta dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar
tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo,
sekitar 7 km sebelah utara Sengkang. Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng
Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.
Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale. Ambo berati bapak dan
Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan
rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama
bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah
dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2)
Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak
dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa
dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama.
Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar
mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk
menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada
anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra
semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya.
Latar BelakangPendidikan
Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat)
sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar
mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar
rumah.
Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid,
nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH?
Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa
waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi
kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola
dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi
Februari 1996).
Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid,
qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun
mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah
Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.
Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak
ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana?
Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang
bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi,
dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa)
bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama.
Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering
kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad
Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr.
Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).
Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem
duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak
pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid
dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H.
Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang
lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya,
Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat
ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.
Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta. Dengan
kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran
yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya
sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang
diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang
bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman
daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya
lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.
Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis
menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta.
Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka,
sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat
ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di
sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika
suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib,
sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab
itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata
Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia
kehidupan Waliyullah di zaman dahulu.
Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak
itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang
artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang
tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab
dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya.
Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI
Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG. H. Muhammad As’ad, beliau
mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan
ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat
menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem
sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut
diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan
fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat
taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu
diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang
lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan
ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu.
Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern
(sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai
daerah. Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI
Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja
yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng
Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai
ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah
akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama
yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh
masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan
(angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui
Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya
Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman
Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di
Mangkoso.
Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang
merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama.
Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di
Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan
Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah
(mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah
menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap
mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat
pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan
dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.
Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H.M.As’ad tidak
menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah
yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas
madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya
keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja
itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.
Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta
H.Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang
mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan
cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan
sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak
momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI.
Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti
dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah
untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar
Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka
madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan
tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup
mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa
setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H.
Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang
beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah :
Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd.
Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin,
Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad
Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai,
Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian
Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M.
Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI)
Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.
Anregurutta K.H.Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar
yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan
simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan
perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak
permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon
permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.
Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan
kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan
mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah
Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.
Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat.
Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di
dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu
dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak
tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru
secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman
dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari
dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang
peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada
beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara
dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga
menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma
Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata
dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.
Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak
habis-habisnya. Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang
Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke
Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan
panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau
juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal
itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo
Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan
agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.
Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau
dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut
dan mempertahankan kemerdekaan. Dimana-mana gema perjuangan bergelora di
seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk
membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia
sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang
melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu
yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama
berabad-abad.
Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945
ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi
rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA.
Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah
peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000
Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten
Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang
dituduh sebagai ekstrimis.
Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso.Banyak
santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle
untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban
keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M.
Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan
mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.
Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta
H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi
seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya
AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle
melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang
Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal
1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal
1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi
yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam
bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman
Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai
sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso
beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun
ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala
ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung.
Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan
untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka,
suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu
keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi
untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka
diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah
selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan
pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga
pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan
bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan
ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka
berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan
pengabdiannya.
Namun problema baru muncul pula. Mangkoso dirasakan sudah tidak
memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk.
Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang
kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan
tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan
ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan
tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala
kegiatan DDI.
Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah
yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang
itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare
menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia
harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di
Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi
pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan
mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan
Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan
sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan
cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi
keaktifannya mengajar.
Hijrah Ke Parepare
Tahun 1950, AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu
akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan
yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama
Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di
Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud
Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung
yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut
adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun
perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al
Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu,
Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi
santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru.
Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh
pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.
Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat
kegiatan organisasi dan pendidikan. Terletak di tepi pantai, kota itu
memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran,
baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang
perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen
organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai
institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan
otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI),
bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal
Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad
(Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur
pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan
penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan
zaman.
Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu,
AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga
negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat
dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan
Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan
baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang
pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat
menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954,
menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke
Makassar.
Diculik Kahar Muzakkar
Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang
mengiringinya. Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955,
mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah
pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang
bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah
Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan
perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu
membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui
punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka
kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar
Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk
dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang
menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada
Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak
memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung
dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang
menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar
Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk
menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan
kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira,
“Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan
doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar
Muzakkar.
Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para
gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari
hutan dan kembali ke kota. Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih
baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan
sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di
hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya
mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut
faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak
mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar
Muzakkar dan pengikut setianya.
Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah
perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar
Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta. Kemana ia pergi Gurutta selalu
diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan
TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan,
berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan
menjadi murid Gurutta.
Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI)
semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian
lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan
pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk
mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau
dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama
mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin-
waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana
hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan
orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah
berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari
pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai
kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.
Kiprahnya dalam Perjuangan
Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan
pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya. Ketika terjadi
pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili
di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan
keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar
tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh
dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.
Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah
secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya
tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya.
Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung
dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah
pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun
1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam
memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali
dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada
tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak
Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi
yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal
Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana).
Hijrah Ke Kaballangan Pinrang
Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru.
Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas.
Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare.
Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang
cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi
menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif,
akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan
Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun
setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului
dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat
menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle
memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara
daripada harus berseberangan jalan.
Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI
sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin
segar dalam internal warga DDI. Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya
banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu
dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada
keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa
ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI
Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta.
Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang
tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang
tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung
dengan santri putra yang masih bertahan.
Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja
membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur. Ketika itu, pemerintah daerah
dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati
Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah
kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya
Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah
awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin
langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada
KH. Abubakar Zaenal.
Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan
Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman
pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI.
Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi
Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian
terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya,
tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang
dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan
pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja,
kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu,
hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk
kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya
sebagai ulama anutan yang disegani.
Kitab-kitab Karya Gurutta
Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai
masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak
sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau
kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik,
dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang
berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi,
yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan
tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat
mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat
tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal
logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara
guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika
harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah
swt.
Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan
Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak
boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab
Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid.
Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini
kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab
Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu
balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi
wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara
penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa
kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul
Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah
ilmu Nahwu)
AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam
Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq
(logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis
menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena
panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni
sejak berumur 20 tahun.
Kepribadian Gurutta
Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta K.H. Abd.
Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya
maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan
kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit
menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya
di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh
untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki
jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya
dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak”
sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri.
Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang
seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli
apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres)
ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai
anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai
bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila
Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk
bertemu dengan Gurutta.
Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI,
khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama,
baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta
dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar
tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah
memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai
hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan
Gurutta.
Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan
perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan
persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan
kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya,
Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di
pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke
pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam
seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’
Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah
untuk kepentingan syiar Islam.
Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat
akrab. Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya
merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu,
sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang
cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta
dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan
Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama
dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang
masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.
Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami
Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta K.H.Abd.Rahman Ambo Dalle
sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia.
Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa
turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam
mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung
bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis
oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus
tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di
puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih
menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur
yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari
cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya,
serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi
kitab itu dihafalnya.
Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut
kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja
“bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat
memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik
bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui
dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan
jumlah yang dibutuhkan saat itu.
Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda
melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan
setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi
hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan
untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa
halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di
belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh
petugas pos.
Detik-detik Terakhir
Gurutta K.H Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja
mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil
Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan
yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai
uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai
anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak
mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk
melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur),
meskipun mesti digendong.
Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah
melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan
agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai
sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia
tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang
menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi
dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya
sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat,
tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk
berhenti dari misi pengabdiannya.
Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo
Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan
diantaranya :
1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986.
Anre Gurutta (AG) K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha
Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di
rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan
bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak
menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus
mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”.
Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui
masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman
gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada
Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi
ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang
beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq,
Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain.
Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi
generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya
tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. K.H.
Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa
dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh
hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia.
Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai
orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek
moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura
tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah
kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut
kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah
sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan.
Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi
sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau. Biarkanlah di alam sana,
beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus
memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya.
Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita
Gurutta di awal perintisannya dulu.
Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu
kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang
Khalik.
Selasa, 19 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar